Minggu, 09 Mei 2010

Bukan Aku, Tuhan!

“Roni dan Faza jadian”, serasa tersambar petir saat ku dengar kabar itu.awalnya aku tak percaya tapi aku berusaha mencerna kata-kata sahabatku yang memang fakta adanya. Kabar yang tak pernah ku duga sebelumnya. Detik berikutnya aku tak mengerti mengapa air mata ini mengalir?” tak ada yng hak aku menangisi semua ini karena ku sadr roni bukan siapa-siapa, dia hanya sebatas kakak tanpa hubungan keluarga.
Ingatanku kembali pada masa lalu, masa di mana baru pertam aku mengenal Roni, entah bagaiman cara dia mengenalku yang ku tahu dia adalah sahabat kakak sepupuku, sebenarnya aku tak ingin mengenalnya karena watak kedua orang tuaku yang selalu menentang hubungan dengan seorang laki-laki. Sebelumnya aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya, tanpa menunda waktu ia datang ke rumah bersama kakak sepupuku, kebetulan saat itu tak ada siapa-siapa di rumah, hanya aku sendiri, tak ada percakapan panjang diantara kami hanya tatapan tak bermakna mewakilkan perasaan kami. Itulah awal perkenalan kami, dan sejak saat itu pula nama Roni tak pernahabsen lagi di panggilan masuk ponselku.
Roni adalah orang pertama yang berani bertaruh bahwa dia bisa memelikiku, namun prinsipku lebih kuat dari pada ambisinya. Maka ketika dia menyatakan perasaannya, tanpa ku jawab dia mengerti apa yang akan ku katakana dan memilih menjadi kakak dari pada pacarku. Ber minggu-minggu Roni menjelma sebagai seorang kakak dalam kehidupanku, dengan perhatian yang begitu besar membuatku seakan luluh padanya bahkan semakin hari rasa sayang itu semakin mengakarmelebihi rasa sayangku pada seseorang yang sebelumnya ku cintai, rasa itu tak lagi pada seorang kakak, melainkan lebih dari pada sosok seorang kakak, namun Roni tak merasakn hal itu, membuatku menyimpan semuanya sendiri.
Hampir setiap detik Roni menghubungiku lewat ponsel, sebab pertemuan tak mungkin terjadi, karena kalau tidak kicauan tetangga sedesa akan terdengar mengenai pertemuan seorang perempuan dengan seorang lelaki yang tak pantas dilakukan, dan semua itu bisa mencoreng kehormatan keluargaku dan mungkin juga keluarganya. Kami pun tak ingin mengambil resiko itu hanya untuk mengobati rasa rindu yang tak berujung, usia yang hanya terpaut dua tahun dengannya membuat kami lebih mudah mengerti tentang diri masing-masing. Kasih sayang dan perhatian Roni tak pernah berkurang, bahkan semakin bertambah membuatku semakin percaya bahwa dia lelaki yang baik. Cara bicaranya pun lembut dan tak pernah berbicara hal-hal yang negative.
Kekagumanku pada Roni mengubah pola kehidupanku yang cenderung tak baik, dan sekarang aku mulai melupakan sahabat-sahabatku, bahkan seseorang yang pernah ku cintai. Aku lebih memilih berhubungan dengan Roni dari pada yang lain, meski semua itu hanya sebatas hubungan kakak-adik, dan akhirnya kedua orang tuaku tahu hubungan itu dan tak sedidikit pun melarangku.
“Yang penting tidak pacaran”, begitu kata mereka. Maka aku pun terbiasa jika harus menerima telepon darinya dekat kedua orang tuaku, dan hubungan itu tak pernah berakhir hingga suatu hari aku mengenalkan Kak Roni pada Faza. Salah satu temanku yang mengaku mengenalnya saat di SD, dia lebih muda dariku dan kelasnya pun dua tingkat di bawahku yang sekarang duduk di kelas XI IPS 1. Sedang dia masih di bangku SMP kelas IX. Meski demikian tak ada tingkah laku yang menunjukkan ia dewasa, sifat kekanak-kanakannya membuatnya terlihat lebih muda dari teman-teman sebayanya. Tapi semua itu tak ku pikirkan, biarlah ia berkenalan dengan Kak Roni, karena Kak Roni sendiri mengaku tak mengenal Faza.
Sejak perkenalan keduanya, nama Kak Roni jarang muncul di layer ponselku, dan aku membiarkan semua itu tanpa berusaha menghubunginya, hingga suatu hari dia muncul kembali dan mengatakan tak kan menghubungiku lagi, karena tak ingin mengganggu liburanku. Serta merta aku tak terima dengan perkataannya karena sedikit pun aku tak merasa terganggu, selanjutnya aku memilih diam dam mematikan ponselku hingga masa liburanku selesai. Aku kembali ke asrama dengan tugas menumpuk di sana-sini, kembali sekolah dan berkumpul dengan teman-temanku. Pagi itu, hari minggu, sekolah libur. Aku bersama Faza pergi menghadiri sebuah pelatihan, seperti minggu sebelumnya.
Meski beda kelas, aku dan Faza satu asrama sehingga tak jarang kami sering bersama. Di bawah pohon pinus kami duduk, Faza bercerita tentang Kak Roni begitu juga aku, sesekali Faza ku gojlok dengan Kak Roni, sifat kenak-kanakannya membuatnya ngambek tapin setelah itu kami tertawa kembali.
“Aku takut kamu jealous ma aku”, papar Faza waktu itu, aku hanya tertawa menanggapi ucapannya.
“Meski aku aku jealous, aku akan berusaha agar aku tetap biasa-biasa saja”, ucapku tetap tertawa.
“Tapi….”, kata-kata Faza tak ku tanggapi, aku menariknya ke pafing, Faza hanya mendengus, tapi aku tak peduli tentang hal itu.

Sejak pagi itu, sikap Faza berubah dingin padaku tapi aku tak terlalu memikirkan hal tersebut. Hingga malam ini ku ketahui bahwa ternyata Faza dan kak Roni pacaran. Pen yang sedari tadi ku pegang terjatuh, dan catatan yang sedari tadi ku tulis kini terlantar, aku sibuk dengan air mata yang tiba-tiba saja mengalir,kak Eka berusaha menghiburku, begitu jugu dengan Mutia, Ulfa dan Dita, tapi semua itu tak berpengaruh bagiku, hati ini tetap sakit merasa dihianati. Kenapa disaat aku sayang padanya dia pergi tanpa sebelumnya bilang padaku?
“Jadi bagaiman keputusamu?” Tanya Ulfa,
“Entahlah!” Jawabku singkat, merekapun memilah diam dan pergi meninggalkanku yang kini entah seperti apa.
“ aku akan menemaninya”, jawab kak Eka saat diajak pergi yang lain. Aku kembali menceriatakan kenannganku bersama kak Roni dan lagi-lagi mata ini tak bisa menampung air mataku.

Keesokan harinya, tidak seperti biasa Faza tak terlihat di asrama. Saat dia tiba, teman-teman satu asramaku menyindirnya dengan kata-kata yang tak bisa di bilang lembut. Aku memilih diam menahan sakit saat melihatnya. Suasana memanas, Faza tetap tak merespon, Dita cs menghentikan ocehannya ketika Faza pergi dan mereka merasa menang. Begitu pula aku, mungkin rasa sakit yang amat sangat membuatku tak algi menggunakan rasio.
Suasan tak berubah hingga kami memutuskan untuk menyelesaikan semuanya agar tak ada suasan yang tak nyaman, maka kami bersama menfginterogasi Faza yang saat ini telah mengaku bahwa ia mencintai kak Roni sejak dulu jauh sebelum aku, dan semua itu membuat hati ini semakin sakit. Aku menggugatny, karena ia tak memberi tahu tentang hubungannya dengan kak Roni.
“Bagaimana kau menerima Roni se,mentara kau tahu ada orang lain yang sangat menyayanginya?”Tanya kak Eka berapi-api, dia tetap pada posisinya duduk di pojok.
“Aku juga ga’ tahu kenap bisa aku menerima dia,aku ga’ ngerti ma ku sendiri”,jawabnya.
“Maksudmua apa?” tanyaku, Faza tetap bergeming tak menghiraukan pertanyaanku, aku pun tak ingin mengulang pertanyaan tak penting itu dan segera beranjak meninggalkan Faza, biarlah sakit menemaniku untuk sementara waktu.
Aku kembali mendekati Ulfa bercerita tentang persaanku saat ini, tenatng sesuatu yang mengganjal dalam sel otakku yaitu ‘Bagaimana bisa kak Roni begitu cepat melupakanku? Dengan mudah pula ia mencintai seseorang yang baru ia kenal? Aku tahu, memang tak ada yang tahu kapan cinta itu datang, tapi bagitu semmua itu sangat mustahil. Mungkin karena aku jealous sehingga aku berpikir seperti itu.
“ Katanya dia nembak Faza kerena dia ingin kamu ngerasain gimana dulu ia ngerasain sakit ketika dulu kamu tolak”, jelas Dita di barengi anggukan Mutia. Aku segera beranjak meninggalkan mereka berdua, jika memang itu keinginannya aku akan berusaha melupakan sekuany atermasuk juga kenanga bersamanya meski dulu sama sekali aku tak ingin jauh darinya biarlah rasa sakit ini ku rasakan sendiri toh ahirnya akan hilang juga.

Annuqayah,11 Desember 2009
Guluk-guluk,sumenep
watiex @ yellow XI IPS I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar