Kamis, 31 Desember 2009

MENGEJAR CAHAYA

Malamku semakin kelam
Jiwaku runtuh bersama airmata yang luruh
Satu per Saturday aku tersungkur diatas keputusasaan
Serangkaian perjalanan yang ku rajut bersamna uluran kasihnya
Terukir abadi dalam bingkai senja dimata indahnya
Walau kini ia perlahan memudar
Mengganti dengan senyap yang terus mendera
Mengapa cahaya itu semakin menjauh?
Saat aku benar-benar tak bisa menggapainya
Aku sudah cukup tersiksa dengan kegelapan
Kini, aku harus melangkah ditengah titian yang lebih pekat
Tawa itu sulit tuk ku cipta
Hanya ada sakit dan luka
Yang mengakar dalam jiwa
Cahaya, terlalu sulitkah tuk ciptakan rasa yang benar-benar ada untukku?

TETES KEPEDIHAN

Oleh: Siti Ida Wardah, X IPS 7

Aku tertawa dalam duka
Aku tersenyum dalam rintihan
Begitu cepat bulan berputar
Kurindukan sebuah kebersamaan
Tapi…
Hingga kutemui detik-detik ini
Yang kulalui
Paling akhir bersamamu
Penuh haru dan air mata
Demi satu harapan baru
Untuk cita-cita esok hari
Sahabat…
Kini telah terjadi puing kenangan
Selamat tinggal selamat berpisah
Selamat mengayuh bahtera
Memetik samudera cinta
Di atas kuasa Tuhan

DETIK-DETIK AWAL PERPISAHAN

Oleh: Siti Ida Wardah, X IPS 7

Kini tinggallah ku sendiri
Menanti datangnya perpisahan
Yang hanya akan membuat kepiluan
Namun siapa sangka rasa kepedihan

Adalah awal detik perjalanan
Maka menangislah, menjeritlah
Sekeras mungkin biar dunia tau
Betapa sedihnya meninggalkan
Sekolah tercinta ini

Dan betapa pedihnya rasa hati ini
Sebab sampai detik ini pun
Air mata tak bisa terbendung
Dan cabutlah mata yang nanar

Basah jadi saksi bisu
Walaupun kini kita harus berpisah

KEPASTIAN

Oleh: Nur Faiqah, XI IPS 1

Aku ragu tentang rasa
Yang kau ucap padaku
Aku takut rasa itu
Hanya nafsu belaka
Aku ingin semuanya nyata

KEHENDAKKU

Oleh: Vieta, XI IPS 5

Ingin ku mendekatkan diri pada-Nya.
Tapi…!
Rasa ini juga tak mungkin berpaling dari moe…
Kini hidup jadi dillema
Harus dilema antara kau dengan Tuhanku…
Aku tak mungkin menyingkirkamoe
Dari hidupku…
Dan aku juga tak mungkin
Menyingkirkan Tuhan dari kalbuku…
Karena bagiku
Tuhan segala-galanya
Tapi kau?
Kau hanya satu! Sebagai penyempurna hidupku…

JANJI

Oleh: lutfiyatun. Hs, XI IPS 1

Kawan…
Jangan kau kira aku lupa akan semua hal tentang kita
Jangan kau kira aku akan menghapus semua file indah
Yang telah kita lalui bersama di Efulgensi
Dan jangan pernah kau menyangka aku akan lupa pada
Janji yang telah kita ucapkan bersama.
Memang…
Perpisahan kita saat menjadi jurang perbedaan
Tapi sadarkah kau…?
Perpisahan ini karena cinta dan cita-cita
Aku akui…
Aku memang tak lagi mengenal duniamu
Dan kau pun sudah tak lagi mengenal duniaku
Tapi perpisahan ini
Tak kan membuatku lupa akan perlakuan mereka
Aku tak akan mambiarkan mereka jaya
Karena terlalu sakit luka yang telah mereka torehkan
Kawan…
Semua hal tentang kita akan selalu kusimpan dalam memory pribadiku
Dan tak akan pernah kuhapus meski hanya satu deret
Dan aku janji…!
”pertandingan akan segera kumulai”

Hanya Satu

Oleh: Wiwiek “Pearl Oyster”, XII IPS 1

Langkahmu mengenang api pahitku
Menyengat sekujur tubuhku
Telanjang tangis yang kian ku simpuhkan
Semua muncul menerkamku
Menyerbu
Perlahan dan pasti
Ku terendam
Allah, dzunnubi…
Yang melupakan-Mu
Dibudak dunia
Yang melalaikan-Mu
Terlena harta
Hingga lusuh tangisku menggunung
Dan aku terlelap ku hampaan dalam dekapan malam
Allah, dzunnubi…

Teka-teki Hati

Oleh: Lil@, XII IPS 4

Apa yang dia nanti dari dalam diri?
Datang dan pergi
Silih berganti
Buat ku tak mengerti
Buat ku tak percaya diri
Aku sedih
Aku sepi
Karena adam dapat bingungkan hati
Datang dan pergi tak pasti
Hanya untuk permainkan hati
Hanya untuk hianati
Sang “Dewi”

Pedihnya Sebuah Perpisahan

Oleh: Heril, XII IPS 4

Di saat detik akhir dari perjalanan putaran sang waktu
Tanpa terasa aku telah terdampar
Di lembah nan penuh naifnya sebuah kesepian
Aku termenung di atas kerinduan
Terbuai harapan tuk kembali brecengkrama
Serta berbagi rasa dalam indahnya panorama bahagia
Spertia saat bersama di bilik Annuqayah
Aku hanya diam membisu
Tanpa sebait kata yang dapat terungkap
Dari rangkaian sebuah kalimat perpisahan

Menunggu

Oleh: M. Noer Hayanie Hs., XII IPS 4

Biarkan aku berkelana
Mencari seuak rasa
Pada episode yang telah lalu
Sudah satu jam aku menunggu
Di stasiun keabadian
Namun bayangmu tetap maya
Maya dan tampak suram
Aku mengharapmu di rangkaian rel kesetiaan
Namun rel itu tampak karat
Pada sosok hadirmu
Yang mungkin telah sirna

Ku Kenang Titik Juangnya

Oleh: Wiwiek “Pearl Oyster”, XII IPS 1

Menggaung di segala penjuru
Teriakan pedang dengan lompat kuda begitu bambu
Dengan sangar menusuk-nusuk
Tumpah darah dahsyat !
Darah manis sang mujahid
Saat mereka sibuk dengan tumpas, peluhnya
Kemilau pedang api yang menancap
Runtuh sembarang pedang
Senyap…
Jatuh semua mata monoton
Menyaksikan tebran cinta Tuhan
Pada hembus akhirnya
HAMZAY…..
Ku kenang juangmu dengan tinta emasku.

Desahmu Bisuku

Oleh: Willy Love”Pearl Oyster Class”, XII IPS 1

Seandainya ku bisa
Ingin sekali ku dirikan istana untukmu
Istana cinta-Nya
Istana kasih-Nya dan bergam istana yang kau inginkan
Tapi hina dalah aku
Lemah
Karenanya ku hanya bisu dio kesenyapanmu
Ku hanya diam di hadapan malam-Nya
Menabur mutiaraku untukmu;mutiara bening teroles tasbihnya
Seandainya ku mampu
Ku putar kembali rekaman perjalananmu
Lalu…….
Ku lantangkan suaraku
Hadirmu adalah ada
Nyata dan pasti
Tapi desahmu tak lagi berbisik
Semua membuatku sesak

Sound Akbar Tak Terdengar

Oleh: Safaraini

Di ujung senja merah
Saat syair-syair akbar melantang
Di penjuru dunia
Merdu tak terdengar
Semua itu ikut berceloteh seolah tak peduli
Menyanyi, berdendang KARDIMAN
Sibuk dengan lakon mereka
Nikmat-Nya diberi
Syukurmu kau simpan dengan keegoanmu
Yang melambung di atas awang-awang kehinaan
Jauh kau jauh
Aku jijik melihatmu
Pergi jauh, pergi kau!
Renungkan kesalahanmu!

Adakah Akhir Cinta

Oleh: Cintanya A_07

Bila dunia menjadi buta
Mampukah aku berjalan pada kebenaran?
Bila dunia ini tak mengenal apa tujuan hidup
Mampukah aku bertahan?
Sementara seorangpun tahu tujuan hidup mereka
Jika manusia tak mengenal apa itu kiamat
Mungkinkah ia akan datang?

Sementara manusia-manusia itu tak tahu apa itu kiamat
Adakah akhir dunia?
Jika manusia tak lagi percaya kan datangnya?
Adakah akhir dunia?
Jika manusia tak ingat akan sang pencipta
Mungkinkah kiamat akan datang?
Sementara mereka tak mengerti mengapa dunia diciptakan?

Rabu, 30 Desember 2009

CERITA HATI

Bersamanya,
Ku rangkai waktu
Berablut serpihan rasa
Yang tak pernah ada sebelumnya
Begitu menyiksa
Menghujam
Menindi pertahananku
Dia…
Memaksaku tuk terus telusuri jalan hidupnya
Menyekat langkahku tuk diam
Dan temani kesendiriannya
Dia…
Seolah bayang maya

Senin, 28 Desember 2009

HANCUR? BAHH…!

Oleh: Feel’s El-Hasby, XI Prog. Keagamaan

Hancur…!
Berkeping-keping…
Sungguh telah hancur

Termakan rayap kata
Terhipnotis cahaya rasa…

Bullshit!

C???
T???
D???

Hah…

Persetan dengan semua…!

Aku bersama hidupku..
Hanya aku dan hidupku…
Bukan kalian dan ocehan!
Bukan kalian dan cacian!

Jadi,
Aku bebas bersama imajinasiku,
Kalian bebas dengan makhluk rebutan kalian!

Kalian menang,
Setidaknya untuk saat ini…
Telah lancang dan berhasil buatku jatuh!

AKU,,,,

Oleh: Feel's El-hasby, XI Prog. Keagamaan

Aku adalah hamba…
Yang sekali pernah terjatuh di singgasanamu
Aku adalah kata…
Yang seringkali terpaku di sudut terpojok kertasmu
Aku adalah jiwa…
Yang senantiasa mengikis diri demi rasa

Entah apa…
Hamba, kata, rasa…
Itu aku…

Tapi mereka lebih suka menyebutku;
LUKA….!!!

Maka,
Ini aku,
Gadis rapuh yang mengharap daun layu itu
Ini aku,
Gadis pengidap skizofrenia, katamu
Ini aku,
Gadis yang hanya terpaku pd guna kekanakanku
Ini aku,
Luka itu…!

Minggu, 27 Desember 2009

DO'A UNTUK SAHABAT

Sahabat,
Yang tak pernah hilang kisah tentangnya
Kembali kutatap wajahmu
Dicahaya lilinku
Berharap senyummu selalu terpancar
Untuk kenangan kita
Ingin rasanya ada di dekatmu
Pada detak nafas waktu yang sangat berharga untukmu
Hari ini,
Ku lantunkan serangkai do’a
Dan kupejamkan mata
Rasakan jiwamu hadir temani jiwaku
Tak ada yang tersesali selama hidupmu

KUTEMUKAN CAHAYA DALAM RENGKUH KASIH-MU

Oleh: Fitri-X Beehive, XII IPS 2

Badai terus menghantam
Seakan-akan menghabisiku
Bahkan…
Halilintar teru menyambar
Serasa ingin menelanku
Sedang ombak melilitku
Kedalaman laut yang menganga lebar
Seakan-akan tak terima
Atas kehadiranku
Batinku menjerit
Kalbuku melolong
Pada sang khgalik
Perasaanku sesak
Oleh puing-puing kerikil terjal yang terus menghantam
Batinku roboh seketika
Hatiku pedih
Seakan membengkak
Embun-embun yang ku tabung tuk menyejukkan hati
Tumpah deras
Membajiri lautan bahtera
Yang lama gersang
Lisan ini terus memurattalkan
Syair-syair ilahi
Tuk menguatkan batin
Bacaan syair mengalir terang
Membasahi sanubari
Hingga detik demi detik
Pupuslah…
Perasaan mengganjal
Yang menyelimuti kalbu

IMAJINASI TERINDAH

Oleh: Niel MA, XI MAK

Senyummu imajinasi yang mampu gerakkan molekul-molekul
Berterbangan dilangit
Ciptakan lakon gila
Yang gelengkan ada mereka
Senyummu…
Tarik aku dalam pelukan kasih
Hangat, damai dan…
Terbangkanku dalam dunia maya
Penuh cinta
Penuh pesona dan keindahan

Sabtu, 26 Desember 2009

KISAH MALAM

Malam-malamku
Aku selalu merengkuh malam dalam tahajjudku
Malamku terasa tak berarti dalam kealpaanku
Aku bersyair rindu dalam al-hub yang abadi
Al-hub yang tidak ternoda
Al-hub yang anugerah
Padamu malam
Aku mengitari keterasinganku
Hingga aku menjadi yang terasing
Dalam dekapan kasih sayang malam
(EL-@FY@AN)

JEMARI LANGIT

Oleh: Ulfatun Hasanah, XII Prog. Keagamaan

Daun-daun kembali beku
bisu
Patungkan jiwa kaku
lesu
Tarian angin yang aduhai
Merontokkan tanpa belai
Menggeroti celah yang terberai
Tak tersisa walau sehelai

Tangan-tangan bercahayakan Huda
__menerangi gelap di balik dada
menarik perlahan; dan
mengelusnya kembali.

Saat Ulfa kembali diracuni benalu-benalu dunia, menderaikan airmata dalam muara yang seharusnya tak tertumpahkan yang lebih pantas jikalau muara itu tetap bersumber dengan sumbernya yang hakiki, di muara Kautsar. namun apa?! seorang Ulfa adalah sosok yang tak banyak melakukan apapun tanpa tiupan KunNya yang melebur Fayakun.
Hh...
Jujur, Ulfa paling tak bisa menyimpan bara dendam di hatimu yang setulus dan seputih pasir. Namun ingat, daun segar saja bisa kering tanpa aura, yang setiap hari ditatap matahari nanar sebab itulah hukum alam. Begitupula jiwamu... jangan sampai teracuni oleh virus-virus syaitan. Tahu kan maksudnya??? Sehingga Ulfa masih tetap bisa bersandar di sana, di keteduhan itu.

JERAT SANG RASUL

Oleh: Lailiyatur Rahmah, XII Prog. Keagamaan

Koleksi kesempurnaan ada padanya yang al amin
Kekaisaran ma’rifat memihaknya dalam dekap
Dia adalah Muhammad
Aku adalah satu dari kaum Muhammad
Ingin aku melonjak gersang dengan Nur ta’limnya
Tersandung akupun jatuh
Akhirnya....
Kubuat jalan kakiku terpapah saja
Namun esensinya adalah cinta.

Dekapan Malam

Oleh: Ulfatun Hasanah

Sungguh aku masih ingat;
dekapan ibu yang menyisakan-
perih dan,
airmata keharuan:
padaku yang terserang virus Tuhan
padahal ibu juga demikian

DIMENSI ASA YANG TERKUAK

Oleh: Ulfatun Hasanah

Pagi tak lagi terang seperti biasanya, matahari enggan menampakkan wajah sangarnya pada dunia yang nelangsa. Seakan masih tidur dan bermimpi dengan indahnya purnama. itulah perasaan yang menghampiri gadis cantik berumur 17 tahun. Wajah riangnya tak lagi tampak di sela-sela senyumnya yang manis. Semangatnya luntur bersama malam yang membuat hatinya miris dan histeris. Kejadian itu bermula sejak sandaran jiwanya telah direnggut olehNya lewat nyanyian bising yang menakutkan, KEMATIAN. Ibu yang sangat dibanggakannya meninggalkan Fenzia untuk selamanya.
Tak banyak yang ibu harapkan dari dirimu, anakku. Ibu hanya ingin kamu menegakkan kebenaran dan selalu membanggakan ibu dimanapun dan kapanpun saja. Kamu mengerti maksud ibu, kan?
Fenzia kembali teringat memori yang menyakitkan hidupnya. Bukan karena pesan ibunya yang membuatnya tak bisa bangun dari kesedihan, tapi karena penyakit yang menderita ibunya. Penyakit yang tak kunjung sembuh walau sudah sekian dokter mengobatinya. Bermacam obat telah memasuki tubuhnya yang lemah. Namun tak ada tanda-tanda yang menandakan ibunya akan sembuh. Sebenarnya apa penyakit yang mendera ibuku?aku tak percaya kalau ibu sakit kepala sebab migren, tidak mungkin migren mengakar pada seseorang hingga bertahun-tahun. aku tak percaya...
”Aaaaaaa...”
”Zi, tenang, tenang ya...!!! ada aku disini”
“Pergi!!! Aku benci pada semunya, aku benci.”
”Aku mengerti keadanmu, tapi jangan terlalu larut dengan kesedihan. Tak ada gunanya kamu menangis, lebih baik doakan saja ibumu”
”Apa kamu bilang? Doa katamu? tahu apa kamu tentang aku?! Apa kamu kira aku tak mendoakan ibuku dengan keberadaanku yang seperti ini? Dasar cowok tak tahu malu! Pergi kamu dari sini!!! Pergi... ” Fenzia ngamuk, barang-barang yang berada di sekitarnya dilemparkan pada cowok di hadapannya. Hingga menimbulkan bunyi yang membuat seisi rumah yang hanya di huni oleh paman seayah dan bibinya panik, hingga mereka menuju asal suara itu.
”Apa yang terjadi Han?” tanya seorang laki-laki dengan nada panik dan sedikit kesal melihat keadaan kamar yang berantakan. Sedang yang ditanya hanya diam tak menjawab.
”Pasti dia marah-marah ke kamu, ya sudah memang begitulah dia. Kamu harus sabar menghadapinya”
”Tak masalah om, saya mengerti keadaannya. Seandainya saya yang ditinggal seorang ibu, apalagi sangat baik seperti ibu Aminah, mungkin perasaanku akan sama seperti Fenzia” ucap Farhan, cowok kaya, tampan sekaligus pintar yang naksir dan bersikeras melamar Fenzia, namun ibu Fenzia tak merestuinya. Hingga membuat Farhan kesal. Begitupula dengan Fenzia, dia tidak tertarik sama sekali dengan ketampanan, kepintaran yang dibuat-buat, apalagi kekayaanya yang hanya nnumpang pada ayahnya. Beda dengan omnya.
”Banyak bicara. Pergi semua dari sini!!! Pergi...”
”Fenzia tenang, nak! bibi di sini.” ucap Nadia, bibinya.
”Ya, sudah nak Farhan. Lebih baik nak Farhan pulang saja. Mungkin sekarang Fenzia menolak kehadiranmu dengan keadaannya yang seperti itu. siapa tahu dia akan menerimamu setelah keadaannya pulih seperti dulu” ucap Parman seraya berbisik pada calon menantunya. Begitu Parman mengatakan. Sedangakan yang disebelahnya hanya tersenyum penuh kemenangan.
Keadaan kembali sepi seperti semula setelah bibinya berhasil menenangkan dalam dekapannya, hingga akhirnya tertidur. Namun di sela-sela wajah gadis itu masih ada bercak-bercak kesedihan yang dilalui oleh airmatanya. Semua meninggalkan kamar mungil yang tak lagi berantakan itu. Kembali beraktivitas dengan pekerjaannya sendiri. Di ruang tamu terjadi perkatan singkat diantara Parman dan Farhan, namun tak terdengar oleh telinga manapun.
***
Fenzia terbangun dari tidurnya setelah bunyi pintu yang diketuk berganti dengan suara rengekan pintu dibuka. Fenzia tak percaya dengan senyum yang terpancar indah di depannya, senyum yang selalu dirindukannya. Sudah lama dia tak melihatnya.
”Fatih...” desisnya tak percaya.
”Fenzia, aku hanya ingin melihat senyummu untuk Tuhan kita, dan.. Aku” ucapnya lembut.
”Fatih, ibu...” Fenzia tak melanjutkan, dia kembali terisak.
”Aku tahu, aku paham akan keadaanmu. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan, kau terlalu sulit untuk aku lupakan. Hingga aku harus pulang dari Jakarta hanya untuk menemuimu dalam keadaan yang seperti ini. Maaf dipemakaman ibu aku tak datang karena aku masih harus menyelesaikan skripsiku. Aku juga terpukul mendengar kabar itu dari Ummi.”
”Aku kehilangan semuanya, Fatih. Sejak kecil aku tak tahu ayahku, yang kutahu bahwa ayahku telah lama meninggalkan dunia ini ketika aku masih ada dalam kandungan. Sekarang setelah aku hampir tahu apa itu hidup, yang telah ibu ajarkan padaku. Aku harus kehilangan penopang jiwaku”. Fenzia menceritakan semuanya pada laki-laki di depannya. Laki-laki yang tak pernah menyentuhnya walau hanya kukunya sekalipun. Karena menurutnya, mencintai tak harus ditunjukkan dengan keromantisan-keromantisan murahan. Dia malah lebih memilih arti cinta sebagai jalan menuju Tuhannya semata. Jalan inilah yang ditempuhnya untuk mendapatkan hati seorang gadis yang lembut namun sedikit keras. Sehingga keluarga Fenzia menerima lamaran pertunangan dari kelurga Kyai Mahmud satu tahun yang lalu. Namun setelah kematian ibunya, anggapan itu tak pernah dihiraukan oleh pamannya bahkan dianggap tak pernah ada kata pertunangan diantara Fenzia dan Ra Fatih.
Fenzia juga menceritakan tentang keraguannya akan penyakit yang menimpa ibunya. Tentang kematian yang seakan-akan direkayasa oleh tangan manusia.
”Jangan berkata seperti itu, kita semua milik Allah dan akan kembali pada Allah. Begitupula dengan kematian ibu. Allah lah yang telah menentukan”. Papar Fatih pada Fenzia lembut.
”Aku pernah mendengar dari abamu waktu pengajian, bahwa setan itu ada. Bahkan ada yang menyekutukan Allah dengan setan itu dan meminta pertolongan setan untuk membuat orang yang dibencinya menderita, sakit bahkan meninggal. Nah itu yang disebut dengan sihir. Bukan begitu Fatih?”
”Tapi siapa yang membenci ibu Aminah, wanita sebaik ibu Aminah tidak mungkin ada yang membencinya. Sudahlah, lebih baik kamu shalat dhuhur sekarang! Adukan semuanya pada yang lebih tahu”. Ucap Fatih dengan senyum khasnya.
“Tapi…”
“Sudahlah, please…! O ya, kapan mau kembali ke pondok?”.
“Aku tak tahu, aku masih butuh istrahat yang cukup untuk menerima semuanya.”
“Baik. Aba juga mengerti akan keberadaanmu. Akan aku katakan pada aba kalau kamu masih seperti ini. Aba pasti mengerti kok. Aku pulang dulu, jangan lupa shalatnya. Assalamualaikum”. Fatih pergi meninggalkan kamar itu dengan perasaan tak karuan. Senang karena bertemu dengan calon pendampingnya yang Tuhan kirimkan lewat tingkah lakunya yang sopan dan berakhlak mulia, namun juga sedih melihat keadaan Fenzia yang selalu murung hingga membuat wajahnya kusut tanpa cahaya yang selalu dibanggakannya, bahkan tubuhnya yang dulunya segar, kini tak lagi memancarkan semangat hidupnya. Namun di sisi lain Fatih banggga karena telah bisa membuat Fenzia tersenyum walau tak semanis dan setulus dulu. Tanpa sepengetahuan Fenzia dan Fatih ada mata yang penuh amarah mengawasi pembicaraan dan gerak-gerik mereka berdua dari balik jendela Fenzia. Ada kecemburuan di mata elang itu. ada kobaran api yang semakin menyala di hatinya yang sebenarnya busuk, hanya saja tak ada yang dapat mencium baunya dengan jelas. Laki-laki yang dibutakan oleh cinta.
***
Siang dan malam Fenzia lalui dengan sendiri. Dengan kenangan bersama ibunya. Walau keadaannya tidak separah hari-hari sebelumnya, namun masih ada tangis di hatinya yang terdalam. Fenzia menuruti saran Fatih untuk tidak larut dalam sedih yang berkepanjangan, Untuk mengadukan kekacauan hatinya hanya pada Allah SWT. kadang Fenzia menyempatkan dirinya untuk sekedar menghirup udara segar di sekitar rumahnya. Setelah sekian orang yang berlalu lalang mendatangi rumahnya sejak kematian ibunya seakan membuatnya sesak. Kini kematian ibunya sudah memasuki hari ke-40, tak ada lagi orang yang melawat seperti dulu . Sampai suatu hari pamannya datang menemuinya di taman belakang.
”Zi, boleh om bicara?” tanya om parman membangunkan lamunan Fenzia.
”E...m apa om?! Ada perlu apa? Bicaralah!” jawab Fenzia gugup.
”Begini nak, sejak kematian ayahmu, kamu menjadi tanggung jawab om. Sehingga kamu dan ibumu kami ajak menempati tempat ayahmu ini. Lagi pula sampai sekarang om masih tidak punya seorang anak untuk om sayangi. Om tak seberuntung ayahmu yang bisa mencicipi senangya hidup bersama seorang anak dan istri yang shalehah seperti ibumu. Termasuk masa depanmu juga menjadi tanggung jawab om sepenuhnya Jadi...” om parman masih menghela nafas dalam-dalam tak berani melanjutkan perkataannya.
”lanjutkan om!”. pinta Fenzia pada omnya. Gadis ini memang sudah tahu karekter omnya dari dulu. Ibunya pernah bercerita bahwa om parman sempat bertengkar dengan ayahnya gara-gara neneknya mewariskan kekayaannya pada pak sulaiman, ayah Fenzia.
”Jadi, bagaimana dengan tindak lanjut lamaran keluarga Farhan satu tahun yang lalu? Karena Farhan memaksa om untuk menerimanya. bagaimana kalau om terima saja lamaran Farhan? Om yakin kamu akan bahagia hidup dengannya. Dia anak yang pintar, baik, tampan dan juga kaya”. Ucap om parman penuh harap.
”kenapa kalau om sendiri yang jadi tunangannya? Om ga’ nyadar apa kalau keluarga Kyai Mahmud telah meminta Fenzia lebih dulu untuk putranya? Itupun sudah dapat persetujuan dari almarhum ibu. Iyakan om?”. ucap Fenzia sinis dan agak kesal.
”Tapi Zi, itu kan dulu, Sekarang tidak lagi. Lagian Farhan lebih baik dari pada anak kolot itu”. bentak om Parman.
”Bukannya om yang kolot?! Hanya harta dan harta terus yang om pikirkan. Fenzia ngerti kok apa yang menjadi tujuan om. Om membutuhkan hartanya kan??!” ucap Fenzia tak kalah emosinya.
”Apa kamu bilang? Kurang ajar...” om parman hendak menamparnya namun niat itu diurungkan.
”Terus tampar om!!! Ga’ apa-apa kok. Tapi ingat, sampai kapanpun Fenzia tidak akan pernah menerimanya. Fenzia masih menghargai keputusan ibu sampai kapanpun”. Fenzia pergi dengan perasaan marah dan sedih. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang tak beraura. Dia meninggalkan omnya yang sama marahnya.
Fenzia lari ingin mengadukan semuanya pada ibunya, tapi tidak mungkin. Dia hanya bisa menangis melewati jalan setapak disekitar rumahnya bermaksud pergi ke pemakaman ibunya. Namun tepat di depan pintu gerbang Fenzia dikagetkan dengan benda aneh yang menurutnya tak pantas di tempat itu.ada gulungan rambut yang tertancap paku dan jarum serta sebuah kalung di dekat benda itu. Melihat kalungnya saja enggan, apalagi melihat orangnya. Memori itu kembalai berputar. Namun dia kembali dikagetkan dengan tanda panah yang tepat mengarah pada sebuah kamar yang biasa ditempati ibunya. Dia urungkan niatnya untuk pergi ke pemakaman ibunya. Dia malah berbelok kearah kanan setelah mengambil benda itu dan meletakkan dalam sakunya. Kini dia seakan menemukan sesuatu yang membuatnya penasaran.
***
Rumah yang sangat sederhana yang sempat memberi ketenangan dengan keluarganya di masa kecilnya. Rumah ayah dari ibunya, yaitu kakeknya sendiri. Kakek yang sangat disayanginya, yang selalu memberikan pendidikan di sela-sela mainnya. Kakek yang hanya berdua dengan neneknya sempat menyuruhnya untuk tinggal dengannya setelah kematian ibunya. Namun Om parman tak mengidzinkannya dengan alasan sangat berhutang budi pada kakaknya. Sebenarnya Fenzia lebih senang tinggal dengan kakek neneknya jika tak mengingat pesan ibunya.
Seperti biasa Fenzia mengucapkan salam dan langsung nyelonong setelah salamnya ada yang menjawab dari dalam rumah itu. betapa terkejutnya kakek paruh baya itu melihat cucunya datang dalam deraian airmata.
”Kenapa cucuku? apa yang terjadi?” tanya kakeknya setelah cucu semata wayangnya duduk di depannya.
”Kek, Zi menemukan ini”. Dengan suara tercekat Fenzia memberikan benda itu pada kakeknya. Ada harap yang begitu dalam dari sinar matanya yang menyimpan seribu pertanyaan. Sedangkan kakeknya hanya diam memandangi cucu yang sangat disayanginya itu. Ada kekhawatiran di wajah keriput itu, saat merasakan ada getaran aneh dari benda yang di pegangnya.
”Kek, kenapa?! Apa itu kek? Jawab pertanyaan Fenzia kek?!. Nafasnya mulai turun naik menahan emosi dan penjelasan dari kakeknya. Neneknya mulai terisak menyaksikan pemandangan itu. Beliau tahu betul siapa cucunya sebenarnya. Seorang gadis yang sangat membenci dunia mistik yang dianggapnya sesat setelah kakeknya bercerita padanya ketika masih anak-anak. Cucunya punya keinginan untuk memberantasnya. Karena menurut pikirannya hal yang seperti itu telah melanggar syariat islam, telah menyekutukan Allah dengan makhlukNya, telah menyiksa orang-orang yang tak berdosa, telah membuat orang sebagai boneka mainannya dalam penyakit yang dibuat-buat termasuk ibunya telah dijadikan boneka itu. perlahan beliau beringsut dari balik tirai yang membatasinya, menghampiri dan memeluknya. Sedangkan yang dipeluk ingin meminta penjelasan yang dapat membongkar rahasia di balik benda itu.
Kakeknya menarik nafas dalam-dalam seakan-akan mengumpulkan tenaga untuk menguatkan dirinya agar mampu menghapus duka di hati cucunya. Dengan sangat hati-hati kakek tua itu menjelaskannya agar tak ada dendam yang menggebu di hatinya yang lembut. Kini Fenzia paham apa makna yang terkandung dari benda aneh itu. rambut itu adalah rambut ibunya yang dicuri entah dari mana. Sedangkan paku dan jarum itu adalah kiasan si penyihir untuk menyakiti sesuatu yang ditancapkan pada yang diinginkan. Berarti benar ibunya sakit bukan karena migren biasa, tapi gara-gara benda jahannam itu. Matanya tersulut api kemarahan yang tiada tara, tangisnya semaki pecah, suaranya tercekat tak dapat berkata apa-apa. Ingatannya kembali menerawang jauh dimana ibunya mengeluh sakit kepala dan menjambak rambutnya hingga terlepas dari kulit kepalanya. Ibunya mengerang kesakitan saat sisa-sisa nyawanya tinggal hitungan detik. Hingga akhirnya nyawanya benar-benar hilang dalam tubuhnya disertai darah yang mengalir dari telinga dan hidungnya. Namun masih sempat menyebut asmaNya.. Airmata itu tampak jelas di mata Fenzia, yang akhirnya tersenyum dengan begitu tulus menuju syurga.
Fenzia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang membuat kakek dan neneknya terkejut tak percaya melihatnya.
”Berarti yang melakukan ini semua adalah Fa...Farhan? sebab aku menemukan kalung ini di dekat benda itu kek. Apa maksud dia melakukan ini padaku?!! Apa maksudnya...???. Fenzia benar-benar marah mengetahui kenyataan itu. dia berteriak sekeras-kerasnya. Ingin rasanya tangan yang tak pernah menyentuh barang kotor itu merobek-robek dan mencabik-cabik laki-laki jahannam, laki-laki buaya itu.
”Istighfar, Fenzia... istihgfar... Allah bersama kita” ucap kakeknya tak percaya mengetahui kenyataan ini. ”belum tentu yang melakukan ini adalah Farhan, belum tentu. Jangan suudzan dulu!”. Kakeknya memperingati dengan suara yang ditahan.
”Apakah itu yang disebut cinta, kek?! Dia bilang dia mencintaiku dan akan melamarku untuk menjadi pendampingnya. Om pun sangat antusias sekali untuk menerima lamaran itu. Tapi apa kenyataannya??! Dia telah mengambil paksa ibu dari hidupku. Apakah begini caranya jika cinta ditolak. Cinta telah membutakan hatinya dan kemanusiaanya”. Fenzia tak mampu menahan perasaannya yang campur aduk, rasa marah, benci, kesal, kecewa dan dendam menjadi satu pada laki-laki perfect menurut omnya, karena kenyatannya omnyalah yang membutuhkan bukan dirinya. Sungguh gila pekiknya.

Jumat, 25 Desember 2009

Mengaku Dirinya Nasution, Akhirnya Dianugerahi Pahlawan Revolusi

Pierre Tendean, Sang Anumerta dalam G-30-S/PKI
Oleh:Ulfatun Hasanah, XII Prog. Keagamaan

Ajudan Menko Hankam / Kasab Jendral AH. Nasution ini adalah pria kelahiran Jakarta, 21 Februari 1939. Meskipun Pierre putra seorang dokter, namun minatnya pada bidang militer ternyata cukup besar. Sehingga setelah lulus Sekolah Menengah Atas bagian B, Pierre mendaftarkan dirinya ke Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek). Bisa dikatakan bahwa Pierre tergolong taruna yang cakap dan berprestasi. Kecakapan yang terus berlanjut itu akhirnya mengantarkan dirinya menjadi Ajudan sekaligus pengawal A.H. Nasution. Tepatnya pada bulan April 1965.
Sebagai ajudan yang baik dan pengawal yang setia pada atasannya, Pierre benar-benar membuktikan ketabahan dirinya. Hal tersebut bermula sejak munculnya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengisukan “Dewan Jendral” akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno. Oleh sebab itu sebelum “Dewan Jendral” benar-benar menggulingkan kekuasaan Soekarno yang pada wktu itu beliau dalam keadaan sakit. D. N. Aidit melakukan evaluasi untuk melumpuhkan TNI AD terlebih dahulu. Sebab TNI AD-lah yang mempunyai kemampuan untuk menggulung PKI. Dewan Jendral yang paling diincar adalah A.H. Nasution, A. Yani, Hryono M.T., Soeprapto, D.I. Pandjaitan, S. Parman, dan Sutojo S.
Setelah persiapan, PKI melakukan aksi penculikan, penyiksaan dan pembunuhan. Yaitu pada dinihari 1 Oktober 1965 PKI menyaatroni rumah A.H. Nasution. Namun dalam penculikan itu A.H. Nasution selamat. Akan tetapi sebagai gantinya, Ade Irma Suryani_Puterinya terebunuh. Bersamaan dengan itu juga, Pierre yang tertangkap mengaku dirinya adalah Jendral A.H. Nasution, akhirnya Pierre disiksa. Penyiksaan yang sangat kejam dan begitu sadis mengantarkan Pierre pada kematian. Jenasahnya ditanam bersama ketujuh korban lainnya di lubang buaya.
Pahlawan yang tewas pada peristiwa itu, termasuk Pierre Tendean oleh Negara di baiat sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Presiden RI No.III / KOTI/ 1965.

Tingkatkan Mutu Pendidikan dengan MGMP


Kamis (24/12/2009), sekitar jam sebelas siang tampak beberapa guru memasuki ruang Aula MA 1 Annuqayah Putri. Mereka akan menghadiri MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang telah dilaksanakan sejak hari Sabtu (19/12/2009). Kegiatan yang diikuti oleh semua guru MA 1 Annuqayah Putri itu bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, melalui peningkatan kualitas guru sesuai dengan indikator profesionalisme guru.
Agenda yang akan dibahas dalam kegiatan itu antara lain, RTL (Rencana Tindak Lanjut) MGMP tahun pelajaran 2008-2009, KKM dan kisi-kisi soal-soal mata pelajaran tahun pelajaran 2009-2010. Untuk mempermudah dan memaksimalkan pelaksanaannya setiap materi diklasifikasi sesuai rumpun mapel dan dibentuk koordinator. Dan untuk kegiatan selanjutnya kegiatan tersebut dikoordinir oleh koordinator mapel sesuai dengan agenda kerja yang telah disepakati oleh kelompoknya.
Menurut Bapak Afif Ready, Wakamad. Bagian Kurikulum, selama pelaksanaan MGMP untuk materi umum tidak begitu banyak kendala, namun untuk materi lokal para guru merasa kesulitan karena tidak adanya standar kompetinsi dalam kitab yang dijadikan referensi utama.
Sebenarnya kegiatan MGMP tersebut merupakan lanjutan dari MGMP tahun pelajaran 2008-2009. Dan salah satu hasil MGMP pada tahun itu yang telah berhasil dilaksanakan adalah pembuatan LKS masing-masing mapel, dan bahkan salah satu LKS yang berhasil diterbitkan tidak hanya digunakan di MA 1 Annuqayah Putri namun juga di MA Miftahul Ulum, Pamekasan.
Kegiatan yang merupakan program Wakamad. Bagian Kurikulum itu dilaksanakan selama enam hari (19-24/12/2009) dan akan ditindaklanjuti dengan kegiatan Lokakarya Perangkat Pembelajaran selama dua hari. Sedangkan dana untuk kegiatan tersebut sepenuhnya didukung oleh Sampoerna Foundation. (Va_Posting-erblog)

Kamis, 24 Desember 2009

BENARKAH KARENA CINTA?!

Oleh: Ulfatun Hasanah, XII Prog. Kegamaan

Terpujilah wahai engkau ibu/bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti trimakasihku untuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.


Kunyanyikan lirik lagu “Guru: Pahlawan tanpa tanda jasa” dengan mata basah. Tak kuat kumenahan haru pada tiap bait yang kulantunkan. Kutersedu mengisyaratkan wujud cintaku. Karena aku hanya punya airmata untuk beliau.
Pada setiap kata yang terucap kumengemis cinta kepadaNya untuk kebahagiaan beliau. Di setiap sujud panjangku kubermunajat padaNya untuk keselamatan beliau. Karena aku hanya punya doa untuk beliau.
* * *
Dengan disaksikan tetesan air langit, kubersimpuh di atas pasir putih nan bisu. Tiap tetesnya adalah keresahan bagiku. Cipratannya adalah kegundahan bagiku. Sapuan angin di wajahku menyisakan perih tak terhingga. Kumenatap kepergiannya beberapa menit yang lalu sebelum guntur menggelegar dan mengundang badai. Raut wajahnya tiba-tiba menjadi gumpalan awan hitam dan menyatu dengan angin. Bahasanya yang sakau mengibas keadaan menjadi tetesan airmataku.
Aku tak mengerti mengapa sikap beliau berubah. Tak ada isyarat apapun yang dapat kupahami. Tiba-tiba aku kehilangan semangat dan aku kehausan motivasi dari beliau. Ah… apa yang terjadi?
Satu bulan yang lalu di depan keceriaan mataku, beliau masih mengajakku menyelami samudera Tuhan dengan kesabaran. Karena beliau tahu bahwa aku adalah salah satu muridnya yang tak begitu peka dengan dunia kesabaran. Sembari tersenyum aku telah memasuki jiwa sufinya, aku telah berlayar di kedalaman jiwanya. Beliaupun telah menarikku dari ujung jurang keputusasan. Kuulurkan tangan dan dengan serta merta aku telah ada dalam dekapan keberaniannya. Sebab jari-jari harapan yang mencengkramku teraliri pada tiap pori-pori kelemahanku.
Mungkinkah tiga puluh pergantian siang dan malam telah terjadi gesekan yang menceritakan gerhana di ujung purnama, dan itu menyisakan lara di hatinya?
Mungkinkah tujuh ratus dua puluh dentingan jam telah terjadi kegaduhan yang menyisakan bising tak karuan di indra pendengarannya?
Mungkinkah empat ribu tiga ratus dua puluh tarian menit telah terjadi kekeliruan latar yang menyebabkan cidera pada keberadaan dirinya?
Mungkinkah dua puluh lima ribu sembilan ratus dua puluh nyanyian menit telah terjadi kesumbangan nada yang mengakibatkan irama tak teratur dalam kehidupannya ?
Dan semuanya tanpa sepengetahuanku?! Aku tak tahu apa yang telah terjadi.
* * *
Saat pelangi kehidupan menikung di antara asaku, aku beringsut mengejaar rona jingga di ujung mentariNya. Dengan tertatih-tatih kumelawan tanya yang timbul dalam benakku. Ada apa gerangan dengan guru spiritualku?. Sesampainya di batas pemukimanku dan pemukiman Tuhan, aku mengadu padaNya. Kukeluarkan semua keresahan isi hatiku padaNya. Dengan bersimbah airmata kuterbata.
“Tunjukkan padaku akan kebenaran dengan kesederhanaan yang kumiliki. Tidak seperti mereka yang mempunyai Ayah dan ibu, dengan membanggakan popularitas keduanya mereka menuntut kebenaran di depan keselahan yang telah dilakukannya. Karena aku tidak seperti mereka, aku hanya sendiri. Tolonglah aku dengan kasih-sayangMu. Bukan dengan istidroj yang Kau haturkan pada mereka yang menyalahgunakan kekayaan harta pada penindasan dan keserakahan belaka. Bantulah aku dengan doa dan airmata ini, karena inilah kesederhanaan yang kumilki.”
Usai berdoa aku berdiri menatap masa lalu. Mungkin akan kutemukan jawabannya. Kutunggu beberapa menit bahkan berjam-jam namun jawaban itu tak kunjung datang. Sekilas wajah tampan dia menyelinap. Dia yang seminggu lalu menawarkan madu pada hatiku. Aku terkejut, terpaku. Tak berkedip mataku menatap sorot matanya yang tajam, mata itu juga tak lepas dari mata sayuku yang tersihir, mata kami beradu dalam pandangan yang tak bisa aku lukiskan dalam bentuk kata-kata. Akhirnya aku mencoba mencicipi madu itu untuk sekedar mengetahui rasanya.
“Ternyata manis”. Itu ucapanku padanya.
“Ya.. semanis senyum dan wajahmu”. Dia membalas gurauanku.
Oh… kenapa aku malah memikirkan Adam? Aku terbangun dari lamunanku. Bukannya aku harus mencari jawaban yang tepat akan perubahan sikap guruku bukan wajah Adam. Atau mencari kesalahanku pada beliau bukan sorot mata Adam. Sudahlah akan kutanyakan besok, aku capek, aku ngantuk.
* * *
Aku berlari mengejar sesuatu yang tak pasti. Tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di seberang sana. Keringatku mengalir deras membanjiri baju lusuh yang kupakai. Napasku tersengal-sengal. Namun semakin kuberlari bayangan itu semakin menjauh. Aku berteriak dalam keheningan malam. Aku mencoba menariknya dalam dekapanku di sela isakku. Namun tetap tak ada, aku bersimpuh dengan menangis sejadi-jadinya. Tubuhku berguncang hebat menahan getaran ketakmengertian dan ingin mendapatkan jawaban dari keresahan. Tiba-tiba ada sentuhan lembut di pundakku. Sepertinya aku tahu. Aku membatin. Aku mengangkat wajahku perlahan-lahan dan kutemukan beliau berdiri di depanku. Aku ternganga, tak dapat berkata. Bibirku sulit digerakkan, mulutku kelu. Hanya ada airmata yang menjadi saksi bisu.
“Setiap apapun yang diberikan Tuhan adalah rezeki dan wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Tiap pemberian Tuhan adalah anugerah dan sepantasnya kita menjaganya. Tapi bisa saja pemberian itu berbalik arah. Bisa saja pemberian itu malah menjadi petaka dan musibah. Seperti wajah yang kau miliki, Hawa. Wajahmu telah menjadi petaka bagi yang memandang, termasuk… Adam. Dan senyum manismu menjadi musibah bagi Adam! Matamu yang Tuhan cipta untuk memandang dan menggali sekaligus menyerap ilmu pengetahuan jangan disia-siakan dengan keterpakuan menatap yang menimbulkan nafsu, apalagi sampai menyelami keindahan yang sebenarnya benalu dalam kehidupanmu, Hawa.”
Setelah selesai berpetuah, beliau sirna dari pandanganku. Aku mencoba mengejar dan ingin mencegah langkahnya yang seliar angin tornado. Namun nihil. Tidak….
“Guru…, oh.. aku bermimpi, Tuhan”.
Aku menatap langkah jarum jam yang terpajang di dinding kamarku. Ternyata sudah saatnya aku menemuiNya di sepertiga malam ini. Seperti yang guru selalu katakan padaku untuk bangun dan menyedot energi Tuhan saat malaikat turun ke bumi dan bertasbih padaNya.

Rabu, 23 Desember 2009

KUTEMUKAN CINTA SENIMAN DI DALAM BUS

Oleh: Dede’ Lia, X IPS 4

Sudah satu jam aku memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di depanku. Tapi bus jurusan Kota Bogor belum juga datang. Kalau tidak karena ada kabar bahwa Ibu sakit, tak mungkin aku masih berdiam diri di tempat ramai dan berdesak-desakan seperti ini.
Satu jam lewat dua puluh menit, akhirnya bus yang kutunggu-tunggu datang juga. Segera kuambil ransel cokelat di sampingku dan kujatuhkan ke atas pundakku. Kemudian aku berjalan di tengah-tengah kerumunan banyak orang. Sesampainya dalam bus, aku memilih tempat duduk di temgah samping kiri. Setelah kurebahkan tubuhku di atas tempat duduk dekat jendela, penat yang kurasakan sedikit berkurang. Kembali ku teringat tentang Ibu sang pelita hati. Ibu adalah segalanya bagiku. Meski Ibu tak pernah memanjakanku, Ibu memberikan kasih sayangnya sepenuh hati padaku. Kasih sayang yang tak pernah kudapatkan dari orang lain tak terkecuali Ayahku. Karena beliau sudah tiada saat aku masih dalam kandungan. Ibulah yang menjadi Ayahku. Menjadi tulang punggung keluargaku.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” Sebuah suara lembut membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada sumber suara itu. Seorang laki-laki dengan tubuh jangkung berdiri di dekatku. Mungkin seorang seniman. Karena dia membawa berbagai alat lukis. “Maaf nona, boleh saya duduk di sini?” kembali laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sama. Aku hanya mengangguk. Kembali pada posisi semula. Dia duduk di sampingku. Kemudian dia membuka jaket hitamnya. Dan hanya kaos merah yang melekat di tubuh atletisnya.
Suara mesin yang berputar menimbulkan kebisingan dan menjadi semakin kencang. Kurasakan getaran yang disusul gertakan sesaat. Pertanda bahwa bus sudah melaju.
Aku menyibukkan diri dengan membolak-balikkan majalah yang kubeli di toko dekat terminal. Hampir satu jam aku melakukannya tanpa ingin membacanya. Hanya sekedar melihat gambar di dalamnya.
Seorang pengamen yang berdiri di tengah-tengah penumpang membuatku menutup majalah dan mendengarkan tuaian lagunya dengan gitar yang mengiringi liriknya. Seusai menyanyikan Penjaga Hati ciptaan Ari Lasso, pengamen tersebut menadahkan topi hitamnya dan mengahampiri setiap penumpang bus. Dengan suka rela para penumpang melempar uangnya ke dalam topi tersebut. Aku mengambil dompet di saku celanaku dan kukeluarkan uang lima ribuan. Saat topi hitam sang pengamen berada di depanku, kuulurkan tanganku, dan dengan bersamaan laki-laki di sampingku mengulurkan tangannya sehingga tangan kami bersentuhan. Aku menoleh padanya. Kami beradu pandang. Meski hanya sekejap, aku bisa merasakan sesuatu yang memikat yang membuat jantungku berdetak keras. Suara jantungku yang tak beraturan membuat aliran darahku terganggu. Dia tersenyum padaku. Tapi aku tidak mampu untuk membalas senyumnya. Segera kupalingkan muka dan kusandarkan kepalaku ke sandaran kursi. Perlahan kutarik nafasku. Berusaha untuk menenangkan organ yang bernama jantung. Aku juga tidak paham mengapa jadi cepat sekali berdetaknya. Kupejamkan mata berusaha sesantai mungkin. Sampai akhirnya kau melayang ke dalam mimpi.
“Neng, neng bangun! Sudah sampai.” Suara kernet bus terdengar di telinga berusaha membangunkanku. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Aku tersentak ketika tahu aku satu-satunya penumpang yang masih ada dalam bus. Segera kuberanjak dari tempat duduk dan kupakai ransel cokelatku. Saat hendak melangkah pergi, kusempatkan untuk menoleh pada tempat duduk seniman muda. Matakuk menemukan sebuah lukisan di sama. Lukisan yang mirip wajahku. Atau memang wajahku sendiri? Kubaca tulisan yang tertulis di dalamnya.

Teruntuk
Cantik yang tak kukenal

Sikap dinginmu membuatmu seolah angkuh dan melekat pada sebuah sikap yang amat tenang. Ketenangan yang menyatu dalam wajah ayumu mampu membuat jari-jemariku menari-nari membentuk wajah indahmu.

Dieas


Setelah membacanya kulipat dengan rapi kertas putih itu. Kembali kulangkahkan kaki keluar bus dengan sebuah senyum yang tercipta karena seorang yang tak kukenal.
Bus tempat aku menemukan cinta di dalamnya melaju pergi meninggalkanku bersama rasa yang membuatku melayang bersama bayangan seniman muda.
Semoga waktu masih memihakku menemukannya kembali dengan rasa yang sama. Dan membangun cinta seutuhnya.

PASRAH HATI PADA CINTA

Oleh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku begitu sakit
Ketika kau tancapkan pisau
Pada hatiku, pusat segala rasa
Padahal aku rindu, dan tetap mencintaimu

Itu yang kurasa saat Adhil meninggalkanku beberapa minggu lalu. Kalau seandainya aku tak malu untuk memintanya kembali, aku pasti lakukan itu demi cintaku. Tapi aku tahu, bahwa aku seorang wanita yang dipandang serakah bila menancap cinta pada lelaki.
Aku baru sadar. Ternyata posisi lelaki itu sangat enak. Menguasai segala hal. Yah, mereka punya banyak kesempatan untuk bercinta. Tidak lain karena mereka tidak pernah mampu disakiti wanita.
Adhil lelaki yang selama tiga tahun sudah bersamaku. Ah,. Aku kira semua itu akan menjadi cinta sejati. Tapi nyatanya sejenak nyaris tak ada.

Aku tak lagi memiliki rasa cinta
Bila nyatanya cinta pertama tak ada
Hati kan kututup,
Sampai nanti ada lelaki berkelana mencariku sebagai yang dipuja


Akhirnya akupun berusaha bangkit dari lelah dan dukaku. Aku tak boleh mati karena perasaan ini. Aku harus mampu beranjak dari alur cerita Adhil yang lalu. Yang terbiasa menyuruhku menengadahkan tangan dikala langit mendung. Menyuruhku menunggu matahari ketika terganti senja. Aku harus lepas dari memory itu! Aku pasti mempu demi masa depanku.

@@@

Satu bulan setelah kuhapus bayangan Adhil dari hatiku. Ternyata aku dihadapkan pada masalah baru. Bapak memintaku untuk menikah dengan Fahri, sepupuku sendiri.
Tiba-tiba jiwaku tergoncang. Aku seperti digoyang oleh bayang-bayang Adhil. Aku takut, aku khawatir tak mampu mencintai lelaki pilihan Bapak. Karena aku sadar. Ternyata Adhil masih membekas di hatiku.
Akhirnya aku menolak pada Bapak dengan alasan masih mau sekolah. Ternyata permohonanku nyaris tak terjawab. Bahwa aku harus rela pergi dari rumah kalau melanggar apa yang beliau pinta.
Aku sadar, bahwa apa yang ia perbuat adalah untuk menyambung persaudaraan. Bahkan untuk melindungi diriku dari lelaki pemilik cinta yang dusta. Ya, aku harus mampu menepis rasa keberatanku ini. Aku harus benar-benar lupa pada Adhil. Dia bukanlah cinta yang halal bagiku. Aku yakin aku mampu membuka hatiku kembali. Siapa tahu Kak Fahri adalah lelaki yang sedang berkelana mencariku.
Akupunn melalui hari-hariku. Dan saat ini adalah aku sebagai istri Kak Fahri. Malam ini penentu cinta kami tuk dipadu. Aku akan selalu berusaha menjadi istri yang sholihah…

Pada malam itu
Aku temukan secercah cahaya putih
Bernama cinta dari Ilahi
Dan itu adalah lelaki pendamping hidupku kini


Benar! Cinta ternyata bisa dengan belajar…
Aku mencintaimu, Kak Fahri…

RETORIKA HATI FANYA

Oleh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku membutuhkannya
Aku ingin ia kembali
Mendampingiku melaju
Bersama bayang hari esok

Pagi di rumah Fanya, dia melirikkan matanya ke arah foto Zuan sahabatnya yang telah pergi meninggalkannya. Matanya bening, alisnya yang indah membuat ia tetap kelihatan segar dan cantik meski air mata yang suci telah menjadi hiasan lukanya.
Fanya hanya seorang cewek yang tak mampu mengalirkan kehidupannya. Bahkan untuk menjaga dirinya pun ia masih tak bisa. Benar jika Fanya merasa kehilangan atas tak adanya Zuan, karena selama ini Zuanlah yang menjaganya. Bahkan memberinya kekuatan dalam hidup yang telah ia lalui dengan iringan musik kesepian dan kesedihan.
Kepergian Zuan bukanlah kamauannya. Fanya yang meminta Zuan pergi dari sisinya. Entahlah apa alasan Fanya melakukan hal itu. Tapi yang jelas, Fanya telah menyesali apa yang ia perbuat.
Tepat di persimpangan jalan menuju sekolah, Fanya melihat Zuan bersama cewek yang sejajar dengannya. Fanya diam. Mata mereka tiba-tiba berjumpa dalam pandangan yang satu. Zuan manatap fanya. Lalu dengan cepat Fanya mengalihkan penglihatannya. Dan ia pun beranjak dari tempat berdirinya.
Fanya ternyata memikirkan apa yang ia lihat sebelumnya. Seorang Zuan bersama dengan cewek lain. Memang Zuan dengan Fanya hanya sebatas sahabat. Bahkan saat ini sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Tapi rasa cemburu masih hadir di hati Fanya. Dia memang tidak mencintai Zuan melebihi sahabat. Tapi ada satu hal jika Zuan sudah memiliki kekasih, maka waktunya semakin tak ada untuk Fanya.

Ada ketakutan yang mulai menghantuiku
Banyak kesulitan yang tak mampu kulalui
Dan itupun hanya bisa
Bila aku bersama denganmu…

Fanya jatuh sakit. Air matanya selalu berlinang. Tak ada yang mampu memahaminya. Bahkan Ibunya sendiri tidak tahu apa yang telah membuat Fanya menjadi sakit.
Akhirnya jalan satu-satunya yang Ibu Fanya pilih adalah menemui Zuan, sahabat Fanya dari SD. Karena Ibu Fanya tahu dialah satu-satunya sahabat Fanya.
Zuan terkejut ketika mendengar kabar bahwa Fanya jatuh sakit. Spontan Zuan berlarian menuju ke rumah Fanya. Sedikitpun tak terlintas ingatan bahwa ia telah diusir oleh Fanya.
Zuan memandangi Fanya yang masih tak membuka matanya. “Hei sahabat baikku. Nona Fanya… Zuan datang non…” ia berbisik lirih di telinganya. Tiba-tiba Fanya terbangun dan menatap Zuan tak percaya. “Kamu kok di sini? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi?” mendengar ucapan Fanya, tiba-tiba Zuan teringat atas apa yang telah terjadi antara mereka dua bulan lalu. Zuan diam. Dia merasa harus tetap berada di sisi Fanya. Meski ternyata Fanya selalu menyuruhnya untuk menjauh. Sebenarnya masalah yang melatar belakangi kejadian itu hanya sepele. Tentang ketidak datangan Zuan disaat Fanya memanggilnya sore itu. Fanya merasa Zuan telah memiliki yang lain. Dengan itu hati Fanya beda. Ia tiba-tiba memilih untuk menyuruh Zuan pergi dari pada nanti ia akan tersakiti di akhir hari…
“Fanya, sebenarnya apa sih salahku? Sampai-sampai kau tidak mau lagi menatap mukaku? Sebesar apa kebencianmu padaku?” Fanya diam. Dia Cuma mampu mengeluarkan air matanya. Fanya tahu dirinya sangat merindukan Zuan. Bahkan dia ingin Zuan kembali di sampingnya. Tapi semua itu tidak Fanya utarakan. Karena Fanya tahu, dia hanya seorang gadis yang tidak ada apa-apanya di mata Zuan. “Fanya, kamu tidak usah menjawab apapun. Aku tak memaksamu. Bahkan aku akan pergi jika itu memang kemauanmu. Aku ke sini karena Ibumu datang ke rumah, bahkan karena aku sangat mengkhawatirkanmu, Fanya. Ya sudah, aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi.” Zuan beranjak dari samping Fanya. Fanya membiarkan semua itu berlalu… entah apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kalau Fanya memang sayang ia harus membiarkan Zuan pergi…? Semuanya hanya Fanya yang tahu.

Aku tahu,
Aku membutuhkannya
Tapi aku akan berlebihan
Jika ingin dia selalu di sisiku
Dia memiliki cinta
Dan aku tak mau memisahkannya
Biarkan musik luka ini menjadi temanku
Sebagai instrumen yang kan memberiku
Kekuatan meski tanpa Zuan…

Air mata Fanya mengalir deras melepas jejak langkah Zuan…
Dan semua kan menjadi cerita yang luka bagi Fanya. Karena Fanya pun sadar lukanya tidak akan pernah sembuh hingga nanti ada orang yang mau mengobatinya dengan ketulusan hati. Meski itu bukan Zuan…

CINTAKU, MAKSIATKU PADA-NYA

OLeh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku tengadahkan tangan lembutku di bawah langit. Berharap akan terjatuh air mata langit yang diperintah awan.
Siang itu mendung. Aku dan Raffi berlarian mencari tempat untuk berteduh. Setelah jam sekolah selesai, teman-temanku pun seperti itu, mencari tempat berteduh. Sambil berbincang dengan pujaan hatinya. Mereka bercinta.

Goyangan dedaunan menjadi saksi
Bebatuan memanjakan diri
Lalu batang-batang serta ranting
Mengikatkan diri, agar tak roboh
Jikalau petir dan guntur mulai berkelahi

Raffi menatapku dalam. Matanya yang tajam membuat jantungku berdetak kencang. Dia lalu tersenyum membawa hatiku terbang mengunjungi kebahagiaan.
Hujan membasahi bumi. Hingga senja, air mata langit tetap mengalir. Aku dan Raffi tak bisa pulang karena aku tahu, Raffi begitu anti dengan air hujan. Dia akan jatuh sakit.
Sampai rembulan dan para bintang bermunculan, petir dan guntur tetap menggelegar. Aku terkejut, lalu aku terjatuh dalam pelukan Raffi. Ada perasaan menguasai hati. Aku merasa nyaman dekat dan didekapannya. Tak ada perasaan lain selain aku mencintainya.
Aku terlepas dari dekapannya. Aku dan Raffi sudah capek menunggu hujan reda. Kami pun duduk kembali di tempat yang tetap. Aku meminjam bahunya sebagai tempat penepis rasa lelah. Aku tertidur pulas. Terbawa angin malam yang begitu mendinginkan tubuh.
Suara kucing mengagetkanku. Aku terbangun dari tidurku. Sungguh aku tak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tertidur dengan keadaan tak semestinya dengan Raffi. Kami sama-sama dalam keadaan telanjang. Aku berlari sebelum Raffi membuka mata. Entahlah, aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Aku takut. Aku sangat khawatir kalau kami telah melakukan zina. Karena kutahu sebelum tertidur, seragamku melekat pada tubuhku. Tapi tidak lagi ketika aku bangun. Ah… aku telah terkotori. Aku tak lagi suci!
Sampai di rumah aku dihadapkan dengan banyak pertanyaan. Masih pukul 02.30 dini hari. Rumahku sudah ramai dengan berbagai pertanyaan. Ayah marah geram. Dia memaksaku menjawab. Aku datang dari mana? Aku tak mampu berkata apa. Karena air mata pun masih menguasai suasana. Tanpa kutahu Raffi mengejarku ke rumah. Ayah keluar menemuinya dalam gelap malam. Baju Raffi masih tak terpakai. Ayah heran dan marah. Sekali lagi ia tanyakan apa yang terjadi pada malam itu.
Raffi dan aku saling menatap. Ayah memukul Raffi. Ayah mengerti apa yang telah terjadi. Bahwa aku dan Raffi telah melakukan suatu hal yang tak seharusnya terjadi.
Raffi berdarah. Lukanya dalam setelah Ayah mendorongnya hingga terkena bekas-bekas aspal yang kasar. Ada duri di sana. Aku menghampirinya. Ingin membangunkannya dalam keterpurukannya. Ayah semakin garang. Lalu dia mengusirku saat itu juga. Aku ditamparnya dan aku dimakinya. Aku mengerti perasaannya. Ia tak mau malu pada tetangga atas perbuatan ini. Maka dari itu Ayah mengusirku ketika pagi masih buta. Karena mata tetangga yang masih tak terbuka.
Terpaksa akupun pergi. Entah aku tak tahu kemana harus mencari hidup lagi. Atau aku akan lebih memilih mati dari pada menanggung malu diri.
Tangisku meledak. Aku menyesal atas apa yang terjadi. Tapi sungguh aku tak pernah merencanakan hal itu terjadi. Aku takut pada siksa Ilahi. Aku tak mau dimurkai.
Aku berlari. Jauh dari jarak Raffi. Aku mau sendiri tanpa Raffi yang telah mengotori tubuh ini. Aku akan pergi, meski sendiri. Karena aku tahu aku akan mati jika harus terus bersama Raffi dalam hidup ini. Aku ingin ke suatu tempat yang tak kukenali. Dan penduduk itu tak mengenaliku agar aku kekmbali mampu mensucikan diri dan terlihat suci. Meski pada hakikatnya, hatiku telah ternodai cinta ini. Padahal cinta adalah anugerah. Tapi semua ini malah terbalik. Cintaku serakah. Cintaku musibah.

CINTA, AKU KEJAR DUNIA

Oleh: Rara Zarary, XI IPS 4

Aku benci,
Aku hampir muak bertatap muka
Denganmu
Ayah, kau kejam!!
Tak mau memahami inginku
Kau tega
Perasaanku sampai membencimu

Pada malam gelap gulita itu, sajakku tercipta, terinspirasi lewat kekejaman lelaki pada istrinya. Aku melihatnya dengan jelas bagaimana kejadiannya. Karena lelaki itu adalah Ayahku.
Aku pun tak pernah tahu kenapa Ayah begitu kejam pada Ibu. Padahal, Ibu perhatian, sabar, cantik lagi! Kalau disangka punya pujaan hati lain, itu tidak mungkin. Karena aku tahu Ayahku tak seperti itu. Aku mencintai Ayah, tapi entahlah. Cinta itu kini sepertinya telah memudar. Terkadang ironisnya rasa benci hadir tanpa kumau.
Setiap pagi, sore, bahkan ketika matahari hampir terganti bulan, tiada lain musik yang kudengar. Kecuali pertengkaran Ayah-Ibuku. Aku ingin sekali berada di tengah-tengah mereka. Manjadi pemisah dan mendamaikan mereka. Mengikatkankembali hakikat cinta. Tapi sayang, aku tak berani. Karena aku tahu, aku akan kena marah. Karena aku terlalu kecil untuk ikut campur masalah orang dewasa. Sampai-sampai waktu itu aku ingin sekali cepat dewasa. Agar aku tak lagi diremehkan, dan aku mampu menepis ramai tengkar kedua orang yang paling kucintai.
Ibu memang wanita sabar, yang mampu menghormati suami meski perasaannya sudah terbakar. Beliau tetap perhatian pada Ayah. Do’anya selalu dia lantunkan khusus untuk Ayah. Tapi semua itu tidak berpengaruh. Ayah tetap seperti itu, mau menang sendiri. Aku tahu, memang Ayah yang membelanjakan kami. Tapi Ayah tidak berhak menginjak-injak hakku sebagai anak dan Ibu sebagai istri.
Sebenarnya beberapa tahun yang lalu Ayah tak seperti ini. Dia perhatian, baik, dan penyabar. Tapi sejak kekayaan ini di depan mata, lalu dinikmati dengan kesempurnaan rasa, Ayah lalu berubah warna. Ya, warna kehidupan Ayah sekarang tak indah di mata kami.
Apa maunya aku tak tahu. Ayah pergi dari rumah. Meninggalkan kami yang teraniaya sepi. Benar sendiri lebih sejati dan itu emnjadi kawan sejati kami.
Sejak itu, aku dan Ibu mulai belajar hidup yang semestinya. Sama dengan kehidupan tetangga lain. Yang setiap harinya terasa damai dan tenang.
Akhirnya aku dan Ibu bahagia. Kami pun tak pernah terlintas bayangan Ayah. Kami ingin melupakannya. Tapi aku mengerti, Ibu sangat sakit dengan keputusan ini. Karena aku tahu. Sekejam apapun Ayah,dia adalah lelaki yang bersemayam di hati Ibu. Ya, ibu mencintainya. Aku yakin Ibu lakukan keputusan itu karena aku. Aku yang tak mau lagi punya Ayah sepertinya.
Hingga sampai saat ini, kami belum bertemu atau mendengar kabar Ayah. Seperti ditelan bumi saja. Ayah menghilang…

Sebenarnya aku rindu
Tapi aku terlalu luka
Semestinya aku cinta
Nyatanya aku lupa
Ya, melupakanmu sebagai lelaki penyebab adaku

@@@

Aku tiba-tiba merasa takut mendekati lelaki. Aku tak ingin ada yang kedua dari Ayah dalam keluargaku. Aku mau sendiri. Tidak mengenali dunia lelaki. Bahkan taku mau bercinta. Karena aku pun tak mau kembali luka. Aku tak mau ada kekerasan lagi. Cukup aku hidup dengan Ibuku. Wanita yang nestapa karena cinta lelaki. Tapi tidak. Sekarang dia bahagia denganku. Buah hati yang mencintainya.

Dosakah aku
Bila lupa Ayahku
Salahkah aku jika
hatiku menutup pintu cinta untuknya?
Aku terlalu layu…
Hingga kumbang tak mau merayu…
Dan ini gara-gara kamu, Ayahku…


Umurku sudah dewasa. Aku sudah paham ap arti semua. Termasuk kejadian lima tahun lalu. Saat Ayah memilih pergi meninggalkan Ibu. Tiada lain semua itu dia lakukan karena satu alasan; Ayah mengejar kekayaan. Ayah punya hak dan aku tak perlu lagi mengundangnya kembali ke sini. Dia sudah hidup bahagia di sana. Dan di sini aku dan Ibu juga bahagia. Maski sepi terkadang menyertai.

Aku dan hatiku bersama Ibu
Maafkan aku Ayah
Jika hatiku memilih garis lupa atas adamu
Aku tak bermaksud durhaka
Ini kulakukan karena ingin kurasakan bahagia,
Sama seperti pilihanmu
Meninggalkan Ibu demi harta…

NYANYIAN SENJA

Di senja itu
Kau hadir bersama bahagia jiwamu
Mengacaukan irama jantungku
Yang kau bawa terbang
Seiring kilauan pesonamu
Aku terhipnotis waktu
Pandanganku menerobos kedalaman matamu
Kata-kataku berserakan terbawa angin
Yang menyuarakan kidung asmara
Allah, betapa sempurna ciptaan-Mu
Hingga mampu membungkam suara-suara hati
Yang nyaris terdesak
(eL-@FY@AN, xii ips 1)

RINTIHAN KERINDUAN

Oleh: Im’s, XII Prog. Keagamaan

Wahai merpati dil langit
Bisakah kau meminjamkan sayapmu
Untuk mengantarkanku pada separuh jiwaku
Yang kini terpisah jarak dan waktu
Aku tak mampu membendung dahaga cinta yang memenuhi hatiku…
Aku sekarat tanpanya…
Kesedihan selalu menjadi kawanku di waktu siang
Dan menjadi mimpi buruk di malam hari
Aku menjerit memanggilnya
Menjerit sekuat tenaga
Hingga menembus cakrawala
Namun, tak kutemukan hadirnya
Bahkan tanda-tandanya pun tak ada
Bagaimana aku bisa melupakannya?
Sedangkan dia selalu bersemayam dalam imajinasiku
Sungguh, rindu ini sangat menyakitiku
Bagai bumi yang merindukan hujan
Aku haus akan cintanya…

CINTAKU DIVONIS

Oleh: Dee, XII Prog. Keagamaan

Aku ingin mengusung cita
Lewat hamparan usaha

Membai’at diri dengan pena
Di atas kertas putih aku meringis
Ah… darah segar mengucur
Dihunus tinta

Kawan, panggullsh senjata kalian
Menulislah!

MADURA

Oleh: Dee, XII Prog. Keagamaan

Keras baja nyalakan merah
Tajam celurit tebar darah :
M A D U R A
Tahukah kalian ?
Madura jawab sejarah tangis fajarku
Rentang asa bintang gemilangku
Saksi putus layanganku
Tunggu camour tanahku
Madura…
Aku abdimu.

Selasa, 22 Desember 2009

RATAPAN SEORANG ANAK

Oleh: Wada, XI IPS 1

Tetesan darah
Yang mengalir deras
Dan menggelar suara
Yang mengguncang dunia
Tubuh mungil
Dengan tangis manja
Dibibir mungilnya
Yang membuat senyum merekah
Dibibir sang bunda

Terima kasih bunda
Kau telah membuatku melihat dunia
Kau telah mengajariku
Alif sampai ya’
Dan kau telah mengajariku
Arti dari sebuah kasih sayang

Aku tak tahu balasan apa
Yang pantas untukmu
But, I just wanna say
I love you mom

Senin, 21 Desember 2009

MOTHER MOTIVATION AND SMILE INFLUENCE FOR CHILDREN SPIRIT TO STUDY

Ulfatun Hasanah, XII Prog. Keagamaan

Mother is the first school for children. In his development to take of knowledge, mother becomes someone who is very important. Mother becomes someone that is hoped very much for express some new soul that have good personality and achievement. So a mother is hoped have an education and have an experience to lead her children.
In addition upbringing in the school, children are getting education from her mother. But the result did not match she and her children expectation. That is precisely the opposite, from our mother the first education will be gotten. Mother who is kind is someone that always gives motivation to her children. Both the material motivation or immaterial motivation. The material motivation as like; mother prepares some books to support children education and finance all of children requirements during schooling. The immaterial motivation as like; mother always gives belief for children and gives most beautiful smile as a token of her pride to her children.
Although only a smile, but it’s influence is very huge more than giving some money. Mother’s smile can breakdown all of restlessness that are met by children, both caused by school activities bustle or duties from his teacher.
At first, children deem duties as something implicate to him. By a smile and motivation from mother, as though the duties transformed fresh fruit in the intensify of sun. And also children deem the school activities bustle as something confusion to him, by a smile and motivation from mother, as though the confusion transformed please hobbies.
So that, supplied with smile and motivation from mother, children can feel quiet in his study to achieve dreams. No saying die as long as our mother support us by giving belief and give her most beautiful smile in every our stride to endure education.

BERLALUKAH BADAI ITU

Oleh:BEEHIVE CLASS XII IPS 2

Sinar mentari yang muncul dari ufuk timur menyinari hatiku,menemani juiwa yang sepi,dan menghangatkan raga yang dingin akan kasih sayang setelah usia remaja menyapaku,kebersamaan yang sempurna,takkan pernah tertelan oleh jarak,aku gadis manis,mungil,penuh enerjik,tak bosan-bosan tersenyum mengenang masa lalu yang begutu indah.dimana sebuah keluarga kecil yang tinggal digubuk tua ,selalu memberi kehangatan ya…! Layaknya sinar matahari yang tak pernah lelah menyinari dunia dengan sinarnya

***
Masa itu tak pernah hilang dari pikiranku,hati ,jiwa dan mataku.sekalipun aku jauh dari keluarga kecilku!tapi, mereka tetap ku ingaat dan selalu tersimpan di hatiku.ingin kubertemumereka, merebahkan kepala dipangkuan ibu ,bercanda tawa bersama adik-adikku,dan berada dalam pelukan ayah.setiaknya!pertanyaan itu selalu berfolusi dalam otakku, akupun tak bisa menjawabnya .aku gamang dengan pertanyaanku sendiri

***
Kerinduan yang begitu mendalam, membuatku tak bisa membendung air mta.tetesan demi tettesan membasahi hijab yangku pakai.sudah dua tahun aku tak pernah pulang kampung halamanku.tepat pada hari ultah yang ke-17 ibuku! Memberi kabar bahwa ayahku telah berangkat ke luar negri{arab saudi} untuk mencari nasab dan biaya kuliahku nanti.sungguh hatiku hancur,badanku terasa remuk mendengar berita itu!.masalah ekonomi yang melanda keluarga ku saat ini, membuat ayah tega mennggalkan kami,akuhanya bisa pasrah dan berharap ayah sehat dan selamat dinegri orang.
Kapergian ayah membuat hari-hariku terasa hambar.aku bosan pada dunia ini yang tak berpihak padaku ,apalagi banyak guru-guru disekolahmenjelaskan bahwa perselingkuhan itu terjadidikarnakan hilangnya kebersamaan,ya ! contohnya keluargaku ayah dan ibuku terpisahkarena jarak yang memisahkan.aku bosan mendengar semua cerita itu,aku hanya bisa menangis dan mencurahkan pada yang kuasa,agar keluargaku tetap utuh.dan apa yang di katakan guruku!takkan terjadi pada keluargaku

***
Hari hari tlah kulalui tanpa sesosok lelaki yang tegas didalam keluargaku.aktifitasku kacau balau mendengar berita kepergian ayah. Aku tetap tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku butuh pengokoh, penyanggah, agar aku tetap bisa berdiri dan menjalani kehidupnku. Raut wajah Ibu yang redup dengan tutur kata yang lembut, muncul di depan mataku. Tak terasa butiran bening jatuh membasahi kertas di atas mejaku. Konsentrasiku buyar, hanya bayangan Ibu yang tetap dalam pikiranku.
Sedang apa Ibu di sana? Bagaimana Ibu menghadapi masalah tanpa Ayah di sisinya? Akankah Ibu tetap tersenyum pada dunia? Aku sangat mengkhawatirkan Ibu! Sungguh aku bingung dan bimbang. Bagaimana mengatasi masalah keluargaku? Apalagi mengingat pernyataan dari guruku! Tubuhku tiba-tiba melepuh dan tetesan bening itu mengalir tiada henti. Sungguh berat ujian hidup ini! Rasanya dunia akan menghimpitku! Apalagi, saudaraku masih kecil-mungil. Mereka

***
Di Pesantren salafiah Jombang, aku selalu sakit. Aktivitasku terhambat di sekolah. Banyak pelajaran yang tertinggal. Hingga suatu hari, tepat tanggal 30 Mei 2004, aku mendapat surat dari Ibu. Kedatangan surat Ibu memberiku kekuatan. Yang dulunya enggan beraktivitas, kini kekuatanku pulih kembali.
***
Satu bulan telah kulewati. Surat itu tetap tersimpan rapi di dalam lemari. Disaat aku rindu dan kekuatanku down, aku mengulang membaca surat itu. Surat itu merupakan jimat untuk diriku, sekaligus kekuatanku. Tapi, tetap saja pikiran yang tidak-tidak tentang hilangnya kebersamaan itu selalu ada dalam otakku! Aku mencoba menepis semua itu, tapi tak bisa! Karena sudah tak kuat memendam pikiran itu, akhirnya, aku memberanikan diri untuk menelepon Ayah. Aku terisak. Ayah pun ikut terisak.
“wis toh nak. Dhunga’no ae, beno Ayah lekas moleh ghowo duwek seng akeh. Beno awakmu gak nelongso. Beno podho bhek konco-koncomu seng laen. Lan gak usah mikirno seng macem-macem. Ayah gak kiro koyok ngono. Ayah seng sayang neng Ibukmu lan kabeh keluarga.” kata Ayah waktu itu. Lega rasanya mendengar pernyataan itu dari Ayah. Dunia terasa melepaskan himpitannya.
***
Semula aku tak punya rasa percaya diri. Karena aku tak sama seperti teman-temanku yang lain. Dan aku sempat berpikir tak akan pulang ke kampung halamanku. Karena buat apa juga pulang? Tak ada Ayah! Tapi pikiran itu aku rubah, karena aku bukan hanya merindukan Ayah. Tapi juga Ibu dan keluargaku di sana.
Pondok Pesantren tempatku meneguk ilmu, membuatku ingin selalu memeluk dan selalu mengucapkan terima kasih pada Ayah dan Ibu. Aku sadar, itu bukan cara yang tepat untuk berterima kasih pada mereka. Layaknya anak kecil saja! Ingin selalu berpelukan. Hingga tiba pada waktu yang mendebarkan. Yaitu pengumuman peringkat kelas dan hari libur panjang Ramadlan. Suara mikrofon membahana di aula sekolah Pesantren. Seolah terdengar hingga ke penjuru dunia. Jantungku berdegub kencang seperti gendrang yang mau perang (Dewa 19). Saat nama-nama orang yang mendapat peringkat disebutkan. Ternyata namaku disebut. Aku mendapat peringkat pertama.
Kebahagiaan kembali memelukku. Sekalipun kesedihan masih mempererat genggamannya. Tapi, tetap tidak bisa merubah perasaanku. Apalagi melihat teman-temanku bercanda bersama keluarganya. Hatiku merasa teriris. Aku merindukan masa itu. Masa yang tak kan pernah hilang dalam sanubariku.
Ak mencoba tegar dan menghapus kesedihan yang tetap bercokol dalam otak dan perasaanku. Karena kusadar “no body is perfect in this world” (tak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini). Sedikit demi sedikit aku mulai mengikhlashkan semua yang terjadi padaku. Karena kuyakin badai pasti berlalu.

MENUJU PEMBELAJARAN BERBASIS KASIH SAYANG

Oleh:Izzatul Kamilia, XII IPS 1

Setiap hari didalam kelas guru selalu dihadapkan pada kondisi siswa yang beraneka ragam. Hal itu terjadi karena siswa hadir dari latar belakang yang berbeda. Dan itu merupakan tantangan tersendiri bagi seorang guru yang harus dihadapi setiap hari, sehingga guru dituntut untuk selalu mengerti keadaan siswa setiap waktu.
Untuk masalah itu guru harus peduli dan melibatkan emosinya dalam mengajar, yaitu guru harus mampu melihat suatu permasalahan dari sudut pandang para siswa untuk mengetahui cara apa yang paling tepat agar siswa tertarik dan bisa menimbulkan rasa keingintahuan terhadap siswa itu sendiri. Juga mencari metode pembelajaran yang melibatkan siswa dalam semua kegiatan dalam kelas, sebagai salah satu upaya untuk mencuri perhatian siswa.
Tapi itu tidaklah cukup karena dalam mendidik siswa itu sendiri guru harus memberikan perhatian penuh kepada siswa, karena dengan cara itu siswa merasa dirasakan keberadaannya. Sehingga siswa memperhatikan terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru yang bersangkutan dan berpengaruh pada daya serap siswa terhadap pelajaran yang disampaikan. Dan yang terpenting adalah guru tidak meninggalkan siswa dalam kebingungan yang nantinya bisa membuat siswa bosan pada pelajaran juga pada guru yang bersangkutan. Tidak bisa dilupakan pula guru harus menyediakan waktu sebanyak-banyaknya untuk berdiskusi dengan siswa agar guru bisa lebih mengerti dan memahami kondisi dan keinginan siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Arief Rachman salah seorang praktisi pendidikan Indonesia guru harus mampu melayani siswa dalam keragamannya, sehingga potensi siswa bisa berkembang
Dan hal itu memang tugas yang paling mendasar dari seorang guru. Karena memang tidak ada aturan umum tentang cara mengajar ataupun mendidik siswa, karena setiap orang melakukannya dengan cara yang berbeda dan akan berhasil dengan cara yang berbeda pula sesuai dengan metode yang dipakai. Entah apapun gaya dan metodenya yang penting sesuai dengan kondisi siswa.
Kita coba ambil satu contoh cara mengajar seorang ”guru” yang berhasil menjadikan ”muridnya” menjadi manusia yang sempurna dalam berbagai hal. Manusia itu adalah nabi Muhammad saw, yang terkenal dengan kepandaiannya, kejujurannya dan sifat-sifat baik lainnya dan gurunya adalah malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan kalamullah kepada sang utusan. Dalam at-Tajrid ash-Sharih sayyidatuna Aisyah meriwayatkan ketika kali pertama beliau menerima wahyu di Gua Hira’ yang menyampaikan kepada beliau adalah malaikat Jibril, laluJibril berkata ”iqra’” Rasulullah menjawab ”ma ana bi qari-i” lalu malaikat jibril menarik beliau mendekat dan dipeluk hingga beliau merasa kepayahan, hal itu dilakukan berkali-kali hingga Rasulullah mampu menerima wahyu dari Allah dan disaat itu juga beliau resmi diangkat sebagai utusan Allah.
Hal itu menunjukkan bahwa menjadi guru itu hendaknya mendidik dengan hati yang ikhlas, tulus dan dilandasi kasih sayang pada siswa. Karena tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan tapi juga bisa memotivasi dan membangun optimis siswa untuk tetap semangat dalam belajar, bukan hanya belajar materi pelajaran di sekolah tapi juga belajar tentang hidup. Karena guru bertanggung jawab terhadap kondisi siswa dalam upaya memahami pelajaran, dan sekali lagi tidak meninggalkan siswa dalam kebingungan.
Selain itu tugas guru adalah mengayomi siswa dan membesarkan atau memperkuat mental siswa. Guru juga harus bisa memberi arahan kepada siswa dan mendorong siswa pada jalan-jalan kebenaran dan kebaikan. Karena dengan cara itu guru membangun kepribadian siswa menjadi peribadi yang berkualitas, dan juga bisa menghasilkan garuda-garuda bangsa yang tangguh dan berpendirian kuat.

Minggu, 20 Desember 2009

Lukaku

Oleh: Dede, X IPS 4

Aku dilahirkan oleh jiwa yang tak kukenal
Dan tumbuh menjadi gadis dengan hidup berkalang duka
Yang haus akan kebahagiaan
Tapi….
Tak kan ku biarkan satu pun anak Adam
yang melihat kerapuhan seorang Aku

Cinta dan Anugerah

Oleh:Me2y-x-ALIMA

Cinta
Bukanlah bunga
Di hutan yang mekar
Dalam rengkuhan belukar
Cinta
Juga butuh siraman kasih
Cinta
Adalah anugerah
Yang Tuhan ciptakan untuk dipelihara
Dan dinikmati

Titik Nol

Oleh: W2k, XII IPS 1


Dari sebuah titik nol
Goresan tinta mengalir dalam kisah
Sebuah rute cinta tuhan
Hitam. Merah. Putih
Terkadang biru
Berpelangi lentik tapi nyaris tak ada makna
Sendu, tawar.
Semua dari titik nol
Lalu menjerit buas tak ada puas
Menampar
Mendobrak
Mengusik ketentraman syahdunya
Dan semua akan kembali dari titik nol

Goresan Luka

Oleh: Dearlyen’s, XII IPS 3

Ketraumaanku
Tidak bisa mengingatnya
Perih, sakit
Itu yang selalu yang kurasa
Jika kalian mengetahui
Apa yang saat itu ku rasakan
Kalian tidak akan melarangku
Dan menyalahkanku
Untuk mencari setitik kebahagiaan
Yang telah lama hilangdarinya.

Hujan di Bulan Nopember

Oleh: Senja-X Yindi, XII IPS 4

Hujan merintik lebat
Diluar kelabu
Diamu terkurung mencari hangat
Dari dinginku yang menggigil pilu
Langit muntah menangis ria
Langkahku terhenti seketika
Dalam sapa angin
Yang baru saja lewat menyapaku
Hujan dibulan nopember
Adalah jua tak sampai arah
Dalam semai rasa tak berhasrat
Aku gugur dalam beku
Hijauku hilang, sirna
Masih saja kau bersembunyi
Diantara ilalang yang nampak jua

KESENDIRIANKU

Oleh: Siti Jumalia, XII IPS 4

Jejak sepi ayng ku jalani
Aura suci yang kau campakkan
Tangisku tak lagi kau hiraukan
SENYUMKU
Kau tak pernah rindukan
DAN
Cintaku…
Kau tak lagi mengerti

Terabaikan

oleh: Arek Peter Class XII IPS 1 (NR)

Tangisku dalam diam
Meraup malam yang terus membungkam
Abaikan rasa yang terkapar
Tertelan alunan angin gersang
Pada lepuhan lorong-lorong panjang
Pada malam,
Ku lukis orkestra hati dengan kanvas luka
Pada bintang,
Ku cari setitik jawab dari tanya yang ganang
Namun, ia berikan cucuran air mata
Tanpa warna nyata dilangit-Nya
Jauh ku pandang hampa
Terisi kekosongan kata
Berbalut serpihan angan yang nyaris tenggelam
Di lubuk waktu
Jiwaku tersedu
Terjebak dalam bisu.

Ikhtiar Ku

oleh: Arek Peter Class XII IPS 1(NR)

Ku rengkuh malam dalam tahajjudku
Berteman gelap dan bisu
Kidung angin menjadi irama
Seiring lantunan pengaduanku

Allah…

Ku sebut nama ini disepanjang desah nafasku
Teriring pujian dan sejuta harapan
Mengemis belas kasih-Mu
Harapkan uluran tangan-Mu
Tuk mendekap mimpi-mimpiku.

Sabtu, 19 Desember 2009

MATI RASA

oleh: Dede, X IPS 4

Sama sekali,
Aku tak dapat merasakan kehadiranmu
Sama saja,
Ketika kau pergi
Atau pun kau datang kembali
Atau memang rasaku yang telah mati?
Ah…
Semuanya bagiku serba teka-teki
Yang akhirnya bermuara di lautan ilusi

Obati Lukaku

oleh: Rara Zarary, XI IPS 3

Sabda suci dari bibir merahmu
Adalah kata cinta yang membunuh jiwaku

Lautan, menghentikan diri tuk berombak
Api yang berkobar, diam kalah pada air

Sampai aku terjatuh dustamu
Cinta, dengan itu aku cacat
Jantungku berdetak kilat
Dan hati tak tercipta rasa

Kembalilah kau ucap
AKU BENCI
Dengan itu, aku menyembuhkan diri
Dari sihir syirikmu pada jiwa ini

Aku sudah terlanjur benci
Padamu, orang pencari diri ini

Dan aku tak merasa salah
Karena aku tak pernah melukai.

Jumat, 18 Desember 2009

DIAMKU

oleh:D!-V@, XII Prog. Keagamaan


Dalam diam aku memujamu
Dalam tawa aku mengenangmu
Dalam tangis pun aku masih memikirkanmu
Di mana kan kutemukan senyum itu kembali?
Yang mampu mengobrak-abrik ketenangan batinku
Kapan kan kurengkuh kembali
Saat-saat terindah itu?
Yang mampu menenggelamkan aku ke lautan imajinasi
Aku ingin berteriak,
Memanggilmu di kejauhan sana
Meski sepenuhnya kusadari
Kau tak kan mendengar
Aku ingin berlari,
Mengejarmu lalu mendekapmu
Tapi kakiku kau pasung
Dengan bayang-bayang semu
Aku ingin menjerit,
Agar kau dengar rasa kerinduan ini
Tapi celoteh-celoteh burung pagi menertawaiku

ZAG, DAG, HAG

oleh: Rara Zarary, XI IPS 3

Jiwa,
Jantungku berdetak
Mataku berbekas merah, warnanya
Aku ternyata menangis

Nyaris tak ada lagi kebahagiaan
Yang mampu digapai oleh aku
Aku, sang pejuang bak sampah
Dimata-mata para pengucap sumpah

Za, a
Y r, r
Namaku pun terpecah belah
Penaku tak terarah
Tanganku luka berdarah
Aku marah, aku kalah…

Kamis, 17 Desember 2009

LOVE MY FRIEND

Oleh: UY, X IPS 5

Sudah tiga tahun aku mengenalnya, tepatnya waktu aku baru masuk ke SLTP. Hari-hari yang indah kami lalui bersama meski waktu itu aku dan dia hanyalah teman biasa. Namun menjelang kelulusan siswa kelas IX, sikapnya mulai berubah. Dia tidak lagi mencandai aku dan menjemputku pulang bahkan untuk mengantarku. Sekarang dia sibuk dengan Sisi, murid pindahan baru. Dia telah menarik perhatian Arif dariku. Dan parahnya lagi, aku tidak suka melihat keakraban mereka, entah mengapa aku berpikir kalau Sisi telah merebut Arif dariku, padahal…
Apakah ini yang namanya cinta?
Kenapa cinta itu hadir sekarang?
Kenapa tidak dulu sebelum Sisi hadir dalam kehidupan Arif?
Ah… ataukah itu hanya perasaanku saja?
Kini tinggal dua hari menjelang pelulusan, siang itu aku berjalan sendiri menyusuri lorong panas yang sunyi. Aku tak melihat Arif, tapi aku mendengar dia memanggilku. Aku menoleh, dia menatapku dan tersenyum. Senyumnya membuatku luluh tak bisa berkata apa pu. Aku hanya menunduk, aku pun tak mampu melihat senyuman mautnya. Saat itu ada debaran aneh dalam diriku, aku ingin berbalik dan hendak berjalan. Tapi…
“Ais… kamu kenapa?”, tangannya sambil mencegah langkahku. Aku menundukkan kepalaku dan menggeleng lemah, lalu aku beranjak pergi menjauhi dirinya.
“Ais… aku tau kamu…”, Arif tak meneruskan kata-katanya. Aku menghentikan langkahku, jangan-jangan Arif tau tentang perasaanku. Aku segera menoleh.
“Tau apa?”, tanyaku sambil tersenyum dan pura-pura tidak tau.
“Kamu marah sama Alin, kan? Gara-gara dia menumpahkan air ke makalah kamu, kan?”, jelasnya membuatku bernapas lega.
“Sok tau kamu, Rif”, timpalku dan melanjutkan langkah kakiku yang tadi terhenti. Ah… Arif menyangka aku masih marah sama Alin, padahal ada masalah lain yang terkunci dalam hatiku.
“Ais… benar, kan?”, buru Arif penasaran.
“Salah!”.
Arif menatapku tak mengerti. Aku tau kalau dia sudah menangkap keanehanku beberapa hari ini.
“Ais, kamu kenapa?”, tanyanya lagi sambil menarik tanganku. Aku terkejut seketika karena baru kali ini dia memegang tanganku. Ketika itu, dia perlahan melepas tanganku.
“Ais, dua hari lagi pengumuman pelulusan, aku ingin tau bagaimana perasaanmu.”
“Apa? Perasaanku? Biasa ajalah, Rif.”
“jujur.” Arif terdiam.”Aku tidak ingin pisah dari kamu, sudah aku coba menjauh darimu, tapi tidak bisa. Malah menyiksa batinku.”
“Maksud kamu?”, tiba-tiba jantungku berdebar hebat.
“Kamu mau mondok, kan? Aku mendengar percakapanmu dengan Alin.”
“Iya. Aku akan mondok. Abahku akan memondokkan aku. Kenapa? Kamu keberatan?.”
“Karena aku sadar, kalau aku mencintaimu. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, karena aku tidak mau kehilanganmu dan berpisah denganmu.”
“Tidak. Cinta akan tetap di hatimu kalau kau benar cinta dan ingin selalu bersamaku. Relakan aku mondok karena ini demi kebaikan kita.”
“Seandainya aku bisa memelukmu dan merangkul tubuhmu, aku tidak akan melepaskanmu dan aku akan rangkul tubuhmu erat-erat.”
“Ingat dosa! Kita bukan muhrim. Dan kalau kau bisa, meletakkan kedudukanku di hatimu dan kau menjaganya, aku yakin kita akan bersama. Dan lagi pula, hanya tiga tahun. Dan aku juga mencintaimu.”
Senyum maut pun terlihat di bibirnya, kegembiraannya mulai terlintas. Dan aku yakin perasaan kita berdua akan menyatu walaupun akan jauh terhalang oleh waktu.

Gagal, Aku Marah!

oleh: Rara Zarary, XI IPS 3

Aku adalah orang yang gagal
Berjuang mati-matian dimedan perang
Kalah, karena kekurangan pedang
Dan mati tertusuk pedang

Mereka bukan lawan
Bahkan musuh, itu bukan

Mereka hanyalah sekelompok manusia
Yang menjadi kawan bersaing
Tuk mendahului jiwa yang terang
Meski jalan terlalu petang, tuk jadi perantara

Memuja-Mu
Sungguh aku tak lagi kuasa
Sakit ini mendera
Sumpah, aku seperti sampah…

Dibuang pada selokan
Lalu dibakar, dikubur
Dan aku mati, manjalani hidup
Didalam tanah yang bersuasana sunyi.

Kalah Itu Luka

Oleh: Rara Zarary, XI IPS 4

Cukup!
Aku tak mau lagi menengadahkan tanganku
Aku malu, kecewa tak ada yang peduli
Dan semua itu menyakitkan…

Aku tahu, itu sebuah perjuangan
Yang dulu kau ajarkan padaku
Tapi nyatanya tak menjanjikan
Aku tak lagi dianggap pejuang

Malah, aku adalah binatang
Yang tercium menjadi bangkai
Apa yang kau ajarkan tuk mengeja abjad
Telah melumpuhkan penaku tuk berlayar

Aku kalah padanya, juga mereka
Yang sempat menggetarkanku
Dengan puji agung mereka
Tak ayal bila kalah membuatku hancur

Lalu, salahkah aku
Bila tak lagi ingin bertarung?

TAK SEINDAH SHEBA...

Ulfatun hasanah, XII Prog. Keagamaan

بسم الله الرحمن الرحيم السلام على من اتبع الهدى اما بعد.

Hud-hud mencengkram kata-kata
mendaratkannya di pangkuan Sheba
setelah kabar Ia lontarkan pada Sang raja
bahwa telah ada Ratu cantik jelita;
_dengan bergetar hatinya
telah tertulis kisah asmara mulia
dalam kandungan sejarah yang sangat lama
dan melahirkan kasih sepanjang masa,

Namun tidak padaku yang sendiri
tak ada surat ataupun hati
yang singgah di lembah jiwaku yang selalu sepi
bagai boneka_ku dalam jeruji api
tak ada yang berani
tuk sekedar menghampiri

Bukan rasa yang bernafsu
menulis suratpun Sulaiman berwudlu
mengharap dia yang Majusi_Tawadu
berpaling dari kepercayaan semu
dan… kembali pada tuhan yang tak bersekutu

Aku berharap sama
dia datang atas satu cinta
Satu kekuatan jiwa
Satu kesetiaan rasa
Satu_dalam hatinya
dalam dekapan Penguasa


Tess…
kristal kesedihan jatuh dari sudut mataku
Tess, tess, tess…
tambah deras ia membanjiri pilu
tak kuasa ku menahan haru
kala ku membuka lembaran bisu
setelah lama tak ku pangku
dan…kumembacanya dengan bibir kaku

Aku terpaku…
Surat yang Sulaiman ramu dengan basmalah
telah luntur digerogoti sejarah
Kata yang Sulaiman rangkai sehabis wudlu
telah lama sirna ditelan nafsu
Diksi yang Sulaiman pilih di sela-sela shalat
harus pupus dibelenggu bisikan setan terlaknat

rasa itu sudah tak seindah sulaman Nabi
yang selalu dihiasi dengan motiv rasa pada ilahi;
dapatkah kugapai cinta murni saat ini?




TAK SEINDAH SHEBA...

Ulfatun hasanah, XII Prog. Keagamaan

بسم الله الرحمن الرحيم السلام على من اتبع الهدى اما بعد.

Hud-hud mencengkram kata-kata
mendaratkannya di pangkuan Sheba
setelah kabar Ia lontarkan pada Sang raja
bahwa telah ada Ratu cantik jelita;
_dengan bergetar hatinya
telah tertulis kisah asmara mulia
dalam kandungan sejarah yang sangat lama
dan melahirkan kasih sepanjang masa,

Namun tidak padaku yang sendiri
tak ada surat ataupun hati
yang singgah di lembah jiwaku yang selalu sepi
bagai boneka_ku dalam jeruji api
tak ada yang berani
tuk sekedar menghampiri

Bukan rasa yang bernafsu
menulis suratpun Sulaiman berwudlu
mengharap dia yang Majusi_Tawadu
berpaling dari kepercayaan semu
dan… kembali pada tuhan yang tak bersekutu

Aku berharap sama
dia datang atas satu cinta
Satu kekuatan jiwa
Satu kesetiaan rasa
Satu_dalam hatinya
dalam dekapan Penguasa


Tess…
kristal kesedihan jatuh dari sudut mataku
Tess, tess, tess…
tambah deras ia membanjiri pilu
tak kuasa ku menahan haru
kala ku membuka lembaran bisu
setelah lama tak ku pangku
dan…kumembacanya dengan bibir kaku

Aku terpaku…
Surat yang Sulaiman ramu dengan basmalah
telah luntur digerogoti sejarah
Kata yang Sulaiman rangkai sehabis wudlu
telah lama sirna ditelan nafsu
Diksi yang Sulaiman pilih di sela-sela shalat
harus pupus dibelenggu bisikan setan terlaknat

rasa itu sudah tak seindah sulaman Nabi
yang selalu dihiasi dengan motiv rasa pada ilahi;
dapatkah kugapai cinta murni saat ini?




Ibu, Akulah Pemenang!

OLeh: Rara Zarary,XI IPS 4


Aku tak pernah tahu tentang keinginan Ibu-Bapakku. Seringkali mereka menyuruhku belajar lalu tidur sebagai waktu istirahat otak. Aku pun tak mengerti maksud hal itu. Atau mungkin mereka anggap aku masih terlalu dini untuk tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku.
Setiap hari, aku ruitn disediakan baju warna merah putih serta perlengkapan sekolah, sebagai tanda bahwa hari ini aku harus bersekolah. Ibulah yang memperhatikanku, sedangkan ayah, beliau pergi mencari nafkah, berangkat pagi pulang menjelang malam. Aku tak pernah sempat mencium takdzim tangannya sebagai ucap pamit dari buah hatinya, yang akan belayar di lautan ilmu, karena saat aku terbangun dari tidurku beliau sudah tak ada. Pernah aku mengutarakan pada ibu tentang keinginanku untuk sekedar bisa menyentuh tangan beliau, tapi ibu berkata, “Sudahlah, yang penting belajarlah dengan rajin!. Ayahmu akan sangat bahagia jika kau dapat menjadi pemenang”.
Akhirnya, aku mulai mengerti dengan keinginan orang tuaku. Dan malam itu, saat namaku dipanggil sebagai siswa teladan, pelukan hangat mereka mendekapku. Baru kali ini, erat tangan Bapak merengkuh tubuh kecilku. Mereka bahagia! Aku tahu itu dan aku mulai mengerti betapa bangganya mereka pada dunia.
****
Bayangan masa lalu itu selalu hadir
Bahkan angin pun menerpa, roboh pun mungkin
Karena ia adalah kemenangan bagi seorang gadis kecil
yang dulu hanya bisa merengek manja


Nyatanya waktu terlalu cepat berlalu, aku kini sudah dewasa. Masa SMP-ku sudah terlewatkan, dan lagi-lagi aku berhasil menjadi pemenang. Orang tuaku kembali menebar senyum bahagia.
SMAN 1 Bojonegoro, aku kalah pada nafsuku. Aku merasa gundah hingga membuatku tak betah di sekolah itu dan akhirnya aku meminta kepada Bapak untuk memindahkanku ke sebuah SMA di Madura.
Di sana, kurasakan ada sesuatu yang beda: Aku mudah dikenal, dipercaya sebagai pengrurus OSIS bahkan banyak teman-teman kelas yang sering menggodaku sebagai calon bintang kelas. Tapi entahlah, kenapa rasa gundah itu kembali hadir dalam sepi tanpa dzikir. Aku benci dengan rasa itu dan aku mencoba menahannya.Tapi tak bisa! Aku memutuskan untuk pindah sekolah. Aku ingin pergi ke tempat yang menjauhkanku dari para penjahat dunia, lelaki.
Saat itulah aku menjadi cacian ibu, tentang uang yang telah ku hamburkan dengan percuma. Masa depanku tak jelas, begitu kata ibu. Aku merasa tak dipahami. Dan vonis bahwa aku mengidap penyakit kanker, membuat ibu semakin memojokkanku. Ibu kian tak peduli dengan cita-cita besarku, menjadi seorang penulis handal.

Aku menangis, lukaku begitu perih
Ibuku yang telah mematikan hatiku
Adalah dia yang tak memahami bahasa hatiku


Semuanya seakan sia-sia, ibu kandungku saja tak peduli dengan cita-citaku, apalagi orang lain. Tapi menyerah begitu saja bukan karakterku. Demi pengorbanan Bapak aku akan tetap bertahan atas harapnya, agar aku kembali menjadi pemenang seperti di masa lalu.
***
Dengan menahan segala rasa penat, aku mengikuti segala macam kegiatan yang ada di sekolah baruku, sebuah sekolah swasta dengan fasilitas pas-pasan. Bahkan aku memaksakan diri untuk mengikuti salah satu kegiatan yang pasti akan sangat menguras tenaga dan fikiranku, tentu saja ini tak menutup kemungkinan akan memperah penyakitku. Tapi aku tak peduli, akan ku buktikan bahwa aku bisa kembali menjadi pemenang!.
Akhirnya, aku berhasil! Aku menjadi the best peserta dalam kegiatan itu. Tak sabar aku berlari pulang ke rumah, akan ku kabarkan berita bahagia ini. Senyum ibu pasti akan merekah kembali dan ayah pasti akan merengkuhku…….. Tapi…brakkk!!!
Sebuah benda keras menghantam tubuhku, lalu semuanya gelap……

Rabu, 16 Desember 2009

SAVE MY SOUL MOM!

oleh: Zhie Al-gility, XII IPS 1

Candra tak lagi bercahaya di kegelapan, saat mendung itu menghalanginya. Tak lama kemudian gerimis datang menambah kepiluan hati yang risau. Msih terngiang di telingaku perkataan Bunda tadi sore, “Maafkan Bunda sayang, Bunda tidak bisa mengantarmu. Bunda harap kamu bisa mengerti”. Itulah kata-kata Bunda tadi sore saat aku menanyakan kesediaan Bunda untuk mengantarku ke Guluk-guluk, kediaman baruku. Padahal aku sangat berharap Bunda ada di sampingku dan menemaniku saat terakhir kalinya aku berada di sini. Ya… aku bisa mengerti keadaan Bunda yang kurang sehat, apalagi untuk bepergian jauh. Tapi, aku tidak bisa berangkat tanpa Bunda, karena hanya Beliaulah yang menjadi semangatku.
Malam pun kini telah berlalu menjemput sang pagi, fajar pun kembali bertahta di atas puing-puing embun yang mulai menetes, memberi aroma baru yang berbeda. Tapi sayang… pagi yang cerah ini harus terlewatkan begitu saja tanpa ku nikmati. Karena pagi ini merupakan hari perpisahanku dengan keluarga juga teman-temanku. Aku harus hijrah untuk melanjukan studyku di Annuqayah. Aku memang belum siap menerima perpisahan ini, tapi aku sadar pepisahan bukanlah akhir dari segalanya. Apalagi aku akan kembali lagi dengan yang lebih baik dari sebelumnya, itu tekadku. “Jaga dirimu baik-baik, Nduk! Belajar yang rajin dan hormati gurumu. Tingkatkan keimananmu pada Allah. Yakinlah… kamu pasti bisa menjalani semua ini. Doa Bunda akan selalu menyertaimu”. Ucap Bunda sembari memelukku dan mencium kedua pipiku pnuh kasih. Ada hawa sejuk mengalir ke sendi-sendi darahku. Andai saja waktu bisa ku putar kembali, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama Bunda. Mengapa aku mesti sadar saat ini? Saat kerikil-kerikil tajam aku tancapkan di dada Bunda.
Bunda … andai kau tahu rasa cintaku yang sempat tertunda dan kini ku tuangkan lewat penyesalan yang tiada tara. Hatiku menjerit sakit, saat mengingat dosa yang selama ini ku lakukan terhadap Bunda. Ketika aku membangkang perintahnya, sewaktu aku tak mengindahkan kata-katanya. Semua kenangan itu seperti terekam dalam memoryku dan mencuat satu persatu. “Sudahlah, Nduk…! Ayah mengerti perasaanmu. Dulu waktu Ayah mau berangkat ke pesantren, juga sama sepetimu. Risau, resah, sedih. Tai semua itu bersifat sementara, kalau kamu sudah tinggal lama pasti akan terbiasa”. Hibur Ayah di sampingku. Ayah tidak pernah tahu apa yang kurasakan saat ini, aku butuh Bunda. Hatiku tak bisa lagi menahan belenggu yang tak sempat tertorehkan. Tak terasa butir-butir air mata mulai menetes di pipiku, mengisyaratkan hati yang pilu, Bunda…kapan aku kan mengulang cerita lama yang tak sempat ku sempurnakan?
Sudah sebulan ini aku hidup di pesantren Annuqayah. Hidupku bak terpenjara. Namun, ada sebuah kedamaian yang tercipta di sana. Di sudut tepian cahaya Ilahiyah, ku coba mengeja abjad Tuhan. Dan ketika ku mengerti dan mulai memahami agama, rasa bersalahku semakin bertambah pada Bunda. Tuhan… masih sempatkah aku mengabdi dan bersimpuh di kakinya? Jiwaku semakin runtuh untuk kesekian kalinya, bila ku ingat kembali moment-moment jahanam itu. Bunda…! Maafkan anakmu yang dhaif ini.
Pagi-pagi sekali aku pergi ke sekolah. Karena masih ada tugas yang belum aku selesaikan. Setelah selesai mengerjakan PR Matematikaku, aku pergi ke aman belakang sekolah. Taman yang dipenuhi bunga-bunga mawar kesukaanku itu memberi sedikit obat penawar bagi jiwaku yang dikejar kesalahan.
“Hai Syif! Kok bengong, sih? Lagi ada masalah, ya?”. Tanya Fina dari belakangku. Aku bergeming, Fina adalah sahabat karibku sejak aku di pesantren ini. Dia selalu setia mendengar semua keluh kesahku. Meskipun itu sangat membosankan sekali. Aku menceritakan semuanya pada Fina. Tentang rasa yang selalu menghantuiku, rasa takut dan rasa bersalah akan Bunda. Kisahku benar-benar membuat Fina terharu hingga ia menangis sesenggukan.
“Kamu masih beruntung, Syif. Kamu mempunyai keluarga yang lengkap, kamu punya Bunda yang bisa dijadikan tempat bercurhat. Kamu masih punya Ayah yang bisa kamu jadikan sandaran. Sedang aku… “, ucapnya tertahan, air matanya semakin deras mengalir.
“Sejak kecil aku sudah kehilangan figur seorang Ibu, bahkan wajahnya pun aku tidak tahu. Ketika aku butuh didikan beliau, ketika aku butuh kasih sayang beliau. Tapi waktu begitu cepat merenggut Ibu dariku. Sejak itulah tak ada lagi yang bisa kujadikan sandaran. Bahkan Ayahku pun tak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan kabarku.” Tangis Fina semakin pecah.
Ya Tuhan…?! Ternyata hidup sahabaku lebih tragis dari pada aku. Mendengar kisah Fina, jiwaku semakin tersiksa. Masih sempatkah aku membahagiakan Bunda? Dan membalas semua kasih sayangnya? Bunda… Izinkan aku mengantarkan cinta yang sempat tertunda untukmu. I miss you Bunda… hatiku menjerit, jiwaku sakit. Tapi semua ini membuatku sadar akan kasih sayang yang pernah diberikan oleh Bunda.
“Terimakasih, Fin… kau telah membuatku sadar akan semua ini”, ucapku lalu memeluk Fina.
“Syif, buatlah orang tuamu bangga akan dirimu sebelum terlambat sepertiku. Agungkanlah beliau, karena Ibu adalah sumber inspirasi buat kita”, bisik Fina di telingaku. Yah, Fina benar. Aku harus bisa meraih apa yang diharapkan Bunda dariku. Dan aku harus tetap bertahan di tempat ini, demi Bunda dan semua Keluargaku. Bunda… kan ku abadikan kau dalam setiap hembusan napasku.

Selasa, 15 Desember 2009

What Should We Do...?

oleh: Badriyatul Lailiyah, XII IPS 1

Banyak hal yang dapat kita lakukan setelah UN. Ada yang waiting pelulusan, ada yang sibuk mencari beasiswa S1 ,universitas dan mungkin ada yang sudah belajar untuk ikut tes masuk di universitas yang telah ia pilh untuk kuliah.
Bagi yang tidak lulus mungkin hal itu hanya menjadi mimpi tapi bagi yang lulus kita akan melakukan salah satu dari hal tersebut, seperti mencari universitas dan kebanyakan dari kita mencari universitas yang terkenal seperti UGM Jogja padahal dalam mencari dan menentukan universitas kita harus
• Menentukan jurusan yang sesuai dengan kemampuan kita
• Memilih universitas yang sesuai dengan jurusan kita
• Menentukan universitas yang kita pilih
Jika kita sudah melakukan hal itu Insyaallah kita akan senang pada jurusan dan Universitas yang kita pilih

Merajut Mimpi Bunda

oleh: Musyarrofah, XII IPS 1

Sudah bebrapa kali aku memergoki ayah menelepon dengan suara amat pelan, seakan khawatir aku mendengarnya. Dari suara yang sempat ku tangkap aku yakin orang di seberang telepon itu seorang wanita. Perasaan tak rela itu kembali muncul. Ya, sejak kehilangan ‘Nda delapan tahun yang lalu, selalu ada perasaan tak rela melihat ayah bebrbicara akrab dengan wanita yang tak ku kenal. Aku masih tak rela jika harus melihat ayah bersanding dengan wanita selain ‘Nda. Mungkin ini memang tak adil untuk ayah tapi luka itu masih terlalu perih untuk menerima semuanya.
Itulah yang memaksaku meminta penjelasan pada ayah.
“Yah, akhir-akhir ini Nan lihat ayah sering menelpon seseorang, urusan pekerjan ya, Yah?” tanyaku suatu siang saat kami sedang bersama di ruang tamu
“Eh..ehm ya itu relasi kerja ayah.” Jawab ayah sambil buru-buru mengambil teh yang telah ku sediakan. Kenapa ayah terlihat gugup? Aku semakin penasaran.
“Kalau Nan boleh tahu, siapa namanya, Yah?.”Aku terus berusaha mendapat jawaban yang pasti.
“Sudahlah Nan, hal itu tak penting untukmu. Lebih baik sekarang kau istirahat.” Jawab ayah sambil beranjak menuju kamarnya.
Kenapa sepertinya ayah tak mau menjawab pertanyaanku? benarkah dugaanku bahwa ayah tengah mencari pendamping hidup pengganti ‘Nda? Tidak! Ayah tidak mungkin melakukan hal itu, aku sangat tahu ayah sangat mencintai ‘Nda dan memang hanya ‘Nda yang pantas menjadi pemdamping ayah, bukan wanita lain, siapa pun dia. Aku yakin itu.

@@@
Malam itu ku dengar Hp ayah berbunyi, di layar terlihat sebuah nomor baru. Karena tak ada ayah maka ku angkat saja.
“Halo, assalamu’alaikum” sapaku.
Tut..tut.. lho kok dimatiin??
“Siapa Nan?” tiba-tiba ayah sudah ada di belakangku.
“Tahu ni Yah, setelah Nan angkat malah dimatiin.” Sahutku kesal
“Coba ayah lihat nomornya” ku serahkan Hp itu pada ayah. Sekilas sempat ku lihat ayah tertegun melihat nomor itu.
“Siapa Yah?” tanyaku penasaran.
“Bukan siapa-siapa, sudah malam kau masih tak ingin tidur?”
“Aku masih ingin bersama ayah” ucapku sambil menatap mata ayah.
“Sini sayang ke pelukan ayah!” ucap ayah sambil merentangkan tangannya, siap merengkuhku dalam pelukan hangatnya.
“Ayah..” panggilku pelan.
“ya?”sahut ayah tanpa melepas pelukannya.
“Ayah tak ingin menikah lagi, kan?” ku tatap mata ayah, berusaha menangkap sinar kejujuran di sana.
“Kenapa?” tanya ayah sambil melepas pelukannya.
“Nan belum rela.” Aku tak tahu kenapa aku sampai hati mengatakan kalimat itu. Ayah hanya menatapku kemudian merengkuhku kembali dalam pelukannya.
@@@

Tepukan lembut itu membuatku terbangun.
“Nan…Nanda..” ku dengar suara ayah membangunkanku.
“Ada apa Yah, Nan masih ngantuk” sahutku malas
“Bangun sayang, ada tamu nungguin kamu, mandi dulu sana?”
“Tamu?” tumben ada tamu mencariku biasanya kalau teman-temanku langsung masuk sendiri ke kamar.
“Sudahlah, nanti kau juga tahu. Sekarang mandi!” suruh ayah sambil melangkah keluar kamar.
Setelah mandi dan berdandan seperlunya aku melangkah ke ruang tamu.
“ ‘Nda….” Aku terpekik kaget melihat seseorang yang…..Allah , ‘Ndakah itu??
“Nan…”tiba-tiba ayah sudah merengkuh bahuku dan membimbingku duduk.
Aku masih tak percaya dengan apa yang ku lihat. Sosok wanita di depanku benar-benar mirip ‘Nda. Bentuk wajahnya, hidungnya, matanya bahkan caranya memandangku sama seperti ‘Nda, teduh.
“Lho, kok bengong Nan?” sebuah suara lembut membuatku sadar bahwa ada orang lain di samping wanita itu.
“Bu Ratna..” ku cium takdzim tangan beliau. Bu Ratna adalah sahabat dekat ‘Nda. Semenjak kepergian Bunda kepada beliaulah aku banyak bercerita tentang kerinduanku pada ‘Nda. Karena itulah kami sangat dekat.
“Ini, Dek Hayna, sepupu ibu” Ratna? Allah, dia memang bukan ‘Nda…
Pertemuan itu berakhir dengan meninggalkan kerinduanku yang amat sangat pada ‘Nda…
@@@
‘Nda…Nan marah pada ayah. Nan melihat ayah sedang bersama tante Hayna di sebuah restoran. Mereka terlihat akrab bahkan sangat akrab. Nan tak rela ‘Nda ……Nan tak ingin ayah melupakan ‘Nda. ‘Nda ngerti Nan kan??
“Nan, boleh ayah masuk?” ku dengar ayah mengetuk pintu kamarku.
“Tidak dikunci” sahutku ketus sambil menutupi wajahku dengan bantal. Aku tak ingin berbicara dengan ayah.
“Nan, ayah mau ngomong sesuatu” ucap ayah lirih. Aku tak bersuara.
“Nan, ayah mau menjelaskan semuanya”
“Apa yang akan ayah jelaskan? Bahwa ayah telah melupakan Bunda dan akan menikah dengan tante Heyna, begitu?” aku mulai tak bisa mengontrol emosi.
“Nan!!” ayah membentakku.
“Ayah membentak Nan? Sejak kapan ayah bisa membentak Nan?” mataku mulai berkaca-kaca.
“Maaf” terlihat sorot mata ayah penuh penyesalan.
“Nan benar-benar nggak nyangka secepat itu ayah bisa melupakan ‘Nda, dulu ayah sering bilang sama Nan bahkan kepada semua keluarga kita, bahwa ayah sudah merasa cukup dengan kehadiran Nan bahwa merawat Nan adalah kebahagiaan bagi ayah. Bukankah itu yang sering ayah bilang??” tangisku pecah.
Ayah keluar dari kamarku.
‘Nda, Nan merasa sendiri…..

@@@
Sudah tiga hari aku tak bercanda dengan ayah. Jujur aku rindu, tapi perasaan tak rela itu selalu muncul. Hingga suatu malam saat aku terbangun aku mendengar suara ayah. Eantah apa yang menyeret langkahku menuju kamar ayah yang tepat berada di samping kamarku.
Ku lihat ayah tengah tenggelam dalam sujud panjangnya. Lirih, beliau berdoa…
“ Allahu Rabbi yang maha pengasih, berilah hamba kekuatan dan ketabahan untuk membahagiakan puteri hamba. Biarlah hamba berjuang sendirian jika semua ini bisa membuat Nanda bahagia, dialah kebahagiaan hamba….”
“Ayah…” tanpa sadar aku bersuara.
“Nanda, kenapa kamu ada di sini?’” ayah menoleh herah ke arahku
“Maafin Nanda, Yah” ku perlu ayah, erat.
“Maaf untuk apa, Nan?”
“Nanda sudah nyakitin hati ayah, Nanda sudah membuat ayah sedih” terbata aku menjawab.
“Nan, dengar, ayah tak pernah merasa tersakiti karena kaum. Bunda dan kamu adalah kebahagiaan bagi ayah” Ucap ayah sambil mengusap air mata yang maulai mengalir di lekukan wajahku.
Ku tatap ayah penuh penyesalan.
“Ayah tahu, kau belum rela jika harus melihat ayah bersanding dengan wanita selain Bunda. Kau tahu, tiga bulan yang lalu Bu Ratna menawarkan seseorang untuk menjadi pendamping ayah. Tapi ayah telah menolaknya”
“Kenapa” entah kenapa pertanyan itu yang keluar dari mulutku. Persaan tak rela itu seakan lenyap begitu saja.
“Karena ayah tidak akan tega melihat puteri ayah tersakiti”
“Aku? Kenapa hanya aku? Bukankah Bunda juga kan merasa tersakiti?” ku tatap ayah meminta penjelasan.
“Nan. Bundamu adalah wanita terbaik yang pernha ayah temui, bahkan terlalu baik untuk seorang suami seperti ayah. Dia selalu ingin memberikan yang terbaik untuk orang-orang yang disayanginya, termasuk kita. Kau tahu, setelah dia tahu bahwa dia mengidap penyakit kanker dia segera menyiapkan semuanya bahkan….pendamping untuk ayah…”Ayah tak mampu meneruskan kata-katanya. Dan baru kali ini aku melihat air mata membasahi wajah ayah. Bahkan ketika Bunda meninggal pun ayah tak menangis.
“Siapa orang itu, Yah?” aku masih berusaha kuat mendengar semuanya.
“Heyna” ayah menjawab lirih”tapi sudahlah, sekarang seorang pendamping bukanlah hal penting bagi ayah tapi kamu, kamu adalah yang terpenting bagi ayah. Membahagiakanmu adalah cita-cita terbesar ayah.”
Ku selusupkan kepalaku dalam rengkuhan ayah.
“Nda.....kau mendengar semua ini?
@@@
Alunan nasyid meramikan suasana di rumahku. Para tamu bergiliran memberikan ucapan selamat kepada ayah dan tante Heyna. Ya, hari ini adalah resepsi pernikahan ayah dengan tante Heyna. Aku telah bisa menerima semuanya, bukan karena wajah tante Heyna mirip dengan ‘Nda, tapi karena aku percaya pada pilihan BUNda dan satu hal yang menjadi alasan utamaku, AKU TAK INGIN MELIHAT AIR MATA DI WAJAH AYAH.
“Kakak..” sebuah suara cadel memanggilku. Ku lihat Azzam, putera tante Heyna berlari meghampiriku. Ku rengkuh dia dalam peluikanku” Sekarang, kau adikku sayang” bisikku lirih di telinganya.
“Kakak, dicali ayah” ucapnya lucu
“Ayo kita pergi ke ayah” ajakku sambil melepas pelukanku dan menggandengnya.
Ayah terlihat sedang menerima ucapan selamat dari tamu terakhirnya. Dan tentu saja beliai bersanding dengan tante Heyna.
“Nan…” ayah melambaikan tangan, memanggilku.
“Ayo salaman sama tante Heyna” ucap ayah penuh harap.
“ Ibu..bolehkah Nan panggil Tante Heyna seprti itu?”
“Tentu puteriku, kau adalah anakku, sama seperti Azzam”. Beliau mengusap kepalku.
Aku memang bisa menerima Tante Heya sebagi Ibu tapi panggilan ‘Bunda’ hanya untuk ‘Nda.
“Nan…”Ayah merengkuh kami bertida dalam pelukan hangatnya. Ada sesuatu yang menetes hangat di punggungku. Ayah menangis.
“Hapus air mata itu, ayah. Semua yang ku lakukan karena aku ingin melihat ayah tersenyum. Jadi, Nan mohon jangan menangis.” Pintaku sambil melepas pelukan ayah.
“Jangan menangis, Ajjam jadi cedih”suara cadel Azzam membuat kami tertawa.
“Ya sayang, kita akan berjuang bersama merajut kebahagiaan”Ucap ayah sambil merengkuh kami kembali.
‘Nda… inikah yang kau harapkan?