Kamis, 24 Desember 2009

BENARKAH KARENA CINTA?!

Oleh: Ulfatun Hasanah, XII Prog. Kegamaan

Terpujilah wahai engkau ibu/bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti trimakasihku untuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.


Kunyanyikan lirik lagu “Guru: Pahlawan tanpa tanda jasa” dengan mata basah. Tak kuat kumenahan haru pada tiap bait yang kulantunkan. Kutersedu mengisyaratkan wujud cintaku. Karena aku hanya punya airmata untuk beliau.
Pada setiap kata yang terucap kumengemis cinta kepadaNya untuk kebahagiaan beliau. Di setiap sujud panjangku kubermunajat padaNya untuk keselamatan beliau. Karena aku hanya punya doa untuk beliau.
* * *
Dengan disaksikan tetesan air langit, kubersimpuh di atas pasir putih nan bisu. Tiap tetesnya adalah keresahan bagiku. Cipratannya adalah kegundahan bagiku. Sapuan angin di wajahku menyisakan perih tak terhingga. Kumenatap kepergiannya beberapa menit yang lalu sebelum guntur menggelegar dan mengundang badai. Raut wajahnya tiba-tiba menjadi gumpalan awan hitam dan menyatu dengan angin. Bahasanya yang sakau mengibas keadaan menjadi tetesan airmataku.
Aku tak mengerti mengapa sikap beliau berubah. Tak ada isyarat apapun yang dapat kupahami. Tiba-tiba aku kehilangan semangat dan aku kehausan motivasi dari beliau. Ah… apa yang terjadi?
Satu bulan yang lalu di depan keceriaan mataku, beliau masih mengajakku menyelami samudera Tuhan dengan kesabaran. Karena beliau tahu bahwa aku adalah salah satu muridnya yang tak begitu peka dengan dunia kesabaran. Sembari tersenyum aku telah memasuki jiwa sufinya, aku telah berlayar di kedalaman jiwanya. Beliaupun telah menarikku dari ujung jurang keputusasan. Kuulurkan tangan dan dengan serta merta aku telah ada dalam dekapan keberaniannya. Sebab jari-jari harapan yang mencengkramku teraliri pada tiap pori-pori kelemahanku.
Mungkinkah tiga puluh pergantian siang dan malam telah terjadi gesekan yang menceritakan gerhana di ujung purnama, dan itu menyisakan lara di hatinya?
Mungkinkah tujuh ratus dua puluh dentingan jam telah terjadi kegaduhan yang menyisakan bising tak karuan di indra pendengarannya?
Mungkinkah empat ribu tiga ratus dua puluh tarian menit telah terjadi kekeliruan latar yang menyebabkan cidera pada keberadaan dirinya?
Mungkinkah dua puluh lima ribu sembilan ratus dua puluh nyanyian menit telah terjadi kesumbangan nada yang mengakibatkan irama tak teratur dalam kehidupannya ?
Dan semuanya tanpa sepengetahuanku?! Aku tak tahu apa yang telah terjadi.
* * *
Saat pelangi kehidupan menikung di antara asaku, aku beringsut mengejaar rona jingga di ujung mentariNya. Dengan tertatih-tatih kumelawan tanya yang timbul dalam benakku. Ada apa gerangan dengan guru spiritualku?. Sesampainya di batas pemukimanku dan pemukiman Tuhan, aku mengadu padaNya. Kukeluarkan semua keresahan isi hatiku padaNya. Dengan bersimbah airmata kuterbata.
“Tunjukkan padaku akan kebenaran dengan kesederhanaan yang kumiliki. Tidak seperti mereka yang mempunyai Ayah dan ibu, dengan membanggakan popularitas keduanya mereka menuntut kebenaran di depan keselahan yang telah dilakukannya. Karena aku tidak seperti mereka, aku hanya sendiri. Tolonglah aku dengan kasih-sayangMu. Bukan dengan istidroj yang Kau haturkan pada mereka yang menyalahgunakan kekayaan harta pada penindasan dan keserakahan belaka. Bantulah aku dengan doa dan airmata ini, karena inilah kesederhanaan yang kumilki.”
Usai berdoa aku berdiri menatap masa lalu. Mungkin akan kutemukan jawabannya. Kutunggu beberapa menit bahkan berjam-jam namun jawaban itu tak kunjung datang. Sekilas wajah tampan dia menyelinap. Dia yang seminggu lalu menawarkan madu pada hatiku. Aku terkejut, terpaku. Tak berkedip mataku menatap sorot matanya yang tajam, mata itu juga tak lepas dari mata sayuku yang tersihir, mata kami beradu dalam pandangan yang tak bisa aku lukiskan dalam bentuk kata-kata. Akhirnya aku mencoba mencicipi madu itu untuk sekedar mengetahui rasanya.
“Ternyata manis”. Itu ucapanku padanya.
“Ya.. semanis senyum dan wajahmu”. Dia membalas gurauanku.
Oh… kenapa aku malah memikirkan Adam? Aku terbangun dari lamunanku. Bukannya aku harus mencari jawaban yang tepat akan perubahan sikap guruku bukan wajah Adam. Atau mencari kesalahanku pada beliau bukan sorot mata Adam. Sudahlah akan kutanyakan besok, aku capek, aku ngantuk.
* * *
Aku berlari mengejar sesuatu yang tak pasti. Tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di seberang sana. Keringatku mengalir deras membanjiri baju lusuh yang kupakai. Napasku tersengal-sengal. Namun semakin kuberlari bayangan itu semakin menjauh. Aku berteriak dalam keheningan malam. Aku mencoba menariknya dalam dekapanku di sela isakku. Namun tetap tak ada, aku bersimpuh dengan menangis sejadi-jadinya. Tubuhku berguncang hebat menahan getaran ketakmengertian dan ingin mendapatkan jawaban dari keresahan. Tiba-tiba ada sentuhan lembut di pundakku. Sepertinya aku tahu. Aku membatin. Aku mengangkat wajahku perlahan-lahan dan kutemukan beliau berdiri di depanku. Aku ternganga, tak dapat berkata. Bibirku sulit digerakkan, mulutku kelu. Hanya ada airmata yang menjadi saksi bisu.
“Setiap apapun yang diberikan Tuhan adalah rezeki dan wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Tiap pemberian Tuhan adalah anugerah dan sepantasnya kita menjaganya. Tapi bisa saja pemberian itu berbalik arah. Bisa saja pemberian itu malah menjadi petaka dan musibah. Seperti wajah yang kau miliki, Hawa. Wajahmu telah menjadi petaka bagi yang memandang, termasuk… Adam. Dan senyum manismu menjadi musibah bagi Adam! Matamu yang Tuhan cipta untuk memandang dan menggali sekaligus menyerap ilmu pengetahuan jangan disia-siakan dengan keterpakuan menatap yang menimbulkan nafsu, apalagi sampai menyelami keindahan yang sebenarnya benalu dalam kehidupanmu, Hawa.”
Setelah selesai berpetuah, beliau sirna dari pandanganku. Aku mencoba mengejar dan ingin mencegah langkahnya yang seliar angin tornado. Namun nihil. Tidak….
“Guru…, oh.. aku bermimpi, Tuhan”.
Aku menatap langkah jarum jam yang terpajang di dinding kamarku. Ternyata sudah saatnya aku menemuiNya di sepertiga malam ini. Seperti yang guru selalu katakan padaku untuk bangun dan menyedot energi Tuhan saat malaikat turun ke bumi dan bertasbih padaNya.