oleh: Zhie Al-gility, XII IPS 1
Candra tak lagi bercahaya di kegelapan, saat mendung itu menghalanginya. Tak lama kemudian gerimis datang menambah kepiluan hati yang risau. Msih terngiang di telingaku perkataan Bunda tadi sore, “Maafkan Bunda sayang, Bunda tidak bisa mengantarmu. Bunda harap kamu bisa mengerti”. Itulah kata-kata Bunda tadi sore saat aku menanyakan kesediaan Bunda untuk mengantarku ke Guluk-guluk, kediaman baruku. Padahal aku sangat berharap Bunda ada di sampingku dan menemaniku saat terakhir kalinya aku berada di sini. Ya… aku bisa mengerti keadaan Bunda yang kurang sehat, apalagi untuk bepergian jauh. Tapi, aku tidak bisa berangkat tanpa Bunda, karena hanya Beliaulah yang menjadi semangatku.
Malam pun kini telah berlalu menjemput sang pagi, fajar pun kembali bertahta di atas puing-puing embun yang mulai menetes, memberi aroma baru yang berbeda. Tapi sayang… pagi yang cerah ini harus terlewatkan begitu saja tanpa ku nikmati. Karena pagi ini merupakan hari perpisahanku dengan keluarga juga teman-temanku. Aku harus hijrah untuk melanjukan studyku di Annuqayah. Aku memang belum siap menerima perpisahan ini, tapi aku sadar pepisahan bukanlah akhir dari segalanya. Apalagi aku akan kembali lagi dengan yang lebih baik dari sebelumnya, itu tekadku. “Jaga dirimu baik-baik, Nduk! Belajar yang rajin dan hormati gurumu. Tingkatkan keimananmu pada Allah. Yakinlah… kamu pasti bisa menjalani semua ini. Doa Bunda akan selalu menyertaimu”. Ucap Bunda sembari memelukku dan mencium kedua pipiku pnuh kasih. Ada hawa sejuk mengalir ke sendi-sendi darahku. Andai saja waktu bisa ku putar kembali, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan bersama Bunda. Mengapa aku mesti sadar saat ini? Saat kerikil-kerikil tajam aku tancapkan di dada Bunda.
Bunda … andai kau tahu rasa cintaku yang sempat tertunda dan kini ku tuangkan lewat penyesalan yang tiada tara. Hatiku menjerit sakit, saat mengingat dosa yang selama ini ku lakukan terhadap Bunda. Ketika aku membangkang perintahnya, sewaktu aku tak mengindahkan kata-katanya. Semua kenangan itu seperti terekam dalam memoryku dan mencuat satu persatu. “Sudahlah, Nduk…! Ayah mengerti perasaanmu. Dulu waktu Ayah mau berangkat ke pesantren, juga sama sepetimu. Risau, resah, sedih. Tai semua itu bersifat sementara, kalau kamu sudah tinggal lama pasti akan terbiasa”. Hibur Ayah di sampingku. Ayah tidak pernah tahu apa yang kurasakan saat ini, aku butuh Bunda. Hatiku tak bisa lagi menahan belenggu yang tak sempat tertorehkan. Tak terasa butir-butir air mata mulai menetes di pipiku, mengisyaratkan hati yang pilu, Bunda…kapan aku kan mengulang cerita lama yang tak sempat ku sempurnakan?
Sudah sebulan ini aku hidup di pesantren Annuqayah. Hidupku bak terpenjara. Namun, ada sebuah kedamaian yang tercipta di sana. Di sudut tepian cahaya Ilahiyah, ku coba mengeja abjad Tuhan. Dan ketika ku mengerti dan mulai memahami agama, rasa bersalahku semakin bertambah pada Bunda. Tuhan… masih sempatkah aku mengabdi dan bersimpuh di kakinya? Jiwaku semakin runtuh untuk kesekian kalinya, bila ku ingat kembali moment-moment jahanam itu. Bunda…! Maafkan anakmu yang dhaif ini.
Pagi-pagi sekali aku pergi ke sekolah. Karena masih ada tugas yang belum aku selesaikan. Setelah selesai mengerjakan PR Matematikaku, aku pergi ke aman belakang sekolah. Taman yang dipenuhi bunga-bunga mawar kesukaanku itu memberi sedikit obat penawar bagi jiwaku yang dikejar kesalahan.
“Hai Syif! Kok bengong, sih? Lagi ada masalah, ya?”. Tanya Fina dari belakangku. Aku bergeming, Fina adalah sahabat karibku sejak aku di pesantren ini. Dia selalu setia mendengar semua keluh kesahku. Meskipun itu sangat membosankan sekali. Aku menceritakan semuanya pada Fina. Tentang rasa yang selalu menghantuiku, rasa takut dan rasa bersalah akan Bunda. Kisahku benar-benar membuat Fina terharu hingga ia menangis sesenggukan.
“Kamu masih beruntung, Syif. Kamu mempunyai keluarga yang lengkap, kamu punya Bunda yang bisa dijadikan tempat bercurhat. Kamu masih punya Ayah yang bisa kamu jadikan sandaran. Sedang aku… “, ucapnya tertahan, air matanya semakin deras mengalir.
“Sejak kecil aku sudah kehilangan figur seorang Ibu, bahkan wajahnya pun aku tidak tahu. Ketika aku butuh didikan beliau, ketika aku butuh kasih sayang beliau. Tapi waktu begitu cepat merenggut Ibu dariku. Sejak itulah tak ada lagi yang bisa kujadikan sandaran. Bahkan Ayahku pun tak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan kabarku.” Tangis Fina semakin pecah.
Ya Tuhan…?! Ternyata hidup sahabaku lebih tragis dari pada aku. Mendengar kisah Fina, jiwaku semakin tersiksa. Masih sempatkah aku membahagiakan Bunda? Dan membalas semua kasih sayangnya? Bunda… Izinkan aku mengantarkan cinta yang sempat tertunda untukmu. I miss you Bunda… hatiku menjerit, jiwaku sakit. Tapi semua ini membuatku sadar akan kasih sayang yang pernah diberikan oleh Bunda.
“Terimakasih, Fin… kau telah membuatku sadar akan semua ini”, ucapku lalu memeluk Fina.
“Syif, buatlah orang tuamu bangga akan dirimu sebelum terlambat sepertiku. Agungkanlah beliau, karena Ibu adalah sumber inspirasi buat kita”, bisik Fina di telingaku. Yah, Fina benar. Aku harus bisa meraih apa yang diharapkan Bunda dariku. Dan aku harus tetap bertahan di tempat ini, demi Bunda dan semua Keluargaku. Bunda… kan ku abadikan kau dalam setiap hembusan napasku.