Rabu, 23 Desember 2009

KUTEMUKAN CINTA SENIMAN DI DALAM BUS

Oleh: Dede’ Lia, X IPS 4

Sudah satu jam aku memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di depanku. Tapi bus jurusan Kota Bogor belum juga datang. Kalau tidak karena ada kabar bahwa Ibu sakit, tak mungkin aku masih berdiam diri di tempat ramai dan berdesak-desakan seperti ini.
Satu jam lewat dua puluh menit, akhirnya bus yang kutunggu-tunggu datang juga. Segera kuambil ransel cokelat di sampingku dan kujatuhkan ke atas pundakku. Kemudian aku berjalan di tengah-tengah kerumunan banyak orang. Sesampainya dalam bus, aku memilih tempat duduk di temgah samping kiri. Setelah kurebahkan tubuhku di atas tempat duduk dekat jendela, penat yang kurasakan sedikit berkurang. Kembali ku teringat tentang Ibu sang pelita hati. Ibu adalah segalanya bagiku. Meski Ibu tak pernah memanjakanku, Ibu memberikan kasih sayangnya sepenuh hati padaku. Kasih sayang yang tak pernah kudapatkan dari orang lain tak terkecuali Ayahku. Karena beliau sudah tiada saat aku masih dalam kandungan. Ibulah yang menjadi Ayahku. Menjadi tulang punggung keluargaku.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” Sebuah suara lembut membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada sumber suara itu. Seorang laki-laki dengan tubuh jangkung berdiri di dekatku. Mungkin seorang seniman. Karena dia membawa berbagai alat lukis. “Maaf nona, boleh saya duduk di sini?” kembali laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sama. Aku hanya mengangguk. Kembali pada posisi semula. Dia duduk di sampingku. Kemudian dia membuka jaket hitamnya. Dan hanya kaos merah yang melekat di tubuh atletisnya.
Suara mesin yang berputar menimbulkan kebisingan dan menjadi semakin kencang. Kurasakan getaran yang disusul gertakan sesaat. Pertanda bahwa bus sudah melaju.
Aku menyibukkan diri dengan membolak-balikkan majalah yang kubeli di toko dekat terminal. Hampir satu jam aku melakukannya tanpa ingin membacanya. Hanya sekedar melihat gambar di dalamnya.
Seorang pengamen yang berdiri di tengah-tengah penumpang membuatku menutup majalah dan mendengarkan tuaian lagunya dengan gitar yang mengiringi liriknya. Seusai menyanyikan Penjaga Hati ciptaan Ari Lasso, pengamen tersebut menadahkan topi hitamnya dan mengahampiri setiap penumpang bus. Dengan suka rela para penumpang melempar uangnya ke dalam topi tersebut. Aku mengambil dompet di saku celanaku dan kukeluarkan uang lima ribuan. Saat topi hitam sang pengamen berada di depanku, kuulurkan tanganku, dan dengan bersamaan laki-laki di sampingku mengulurkan tangannya sehingga tangan kami bersentuhan. Aku menoleh padanya. Kami beradu pandang. Meski hanya sekejap, aku bisa merasakan sesuatu yang memikat yang membuat jantungku berdetak keras. Suara jantungku yang tak beraturan membuat aliran darahku terganggu. Dia tersenyum padaku. Tapi aku tidak mampu untuk membalas senyumnya. Segera kupalingkan muka dan kusandarkan kepalaku ke sandaran kursi. Perlahan kutarik nafasku. Berusaha untuk menenangkan organ yang bernama jantung. Aku juga tidak paham mengapa jadi cepat sekali berdetaknya. Kupejamkan mata berusaha sesantai mungkin. Sampai akhirnya kau melayang ke dalam mimpi.
“Neng, neng bangun! Sudah sampai.” Suara kernet bus terdengar di telinga berusaha membangunkanku. Perlahan kubuka mata yang terasa berat. Aku tersentak ketika tahu aku satu-satunya penumpang yang masih ada dalam bus. Segera kuberanjak dari tempat duduk dan kupakai ransel cokelatku. Saat hendak melangkah pergi, kusempatkan untuk menoleh pada tempat duduk seniman muda. Matakuk menemukan sebuah lukisan di sama. Lukisan yang mirip wajahku. Atau memang wajahku sendiri? Kubaca tulisan yang tertulis di dalamnya.

Teruntuk
Cantik yang tak kukenal

Sikap dinginmu membuatmu seolah angkuh dan melekat pada sebuah sikap yang amat tenang. Ketenangan yang menyatu dalam wajah ayumu mampu membuat jari-jemariku menari-nari membentuk wajah indahmu.

Dieas


Setelah membacanya kulipat dengan rapi kertas putih itu. Kembali kulangkahkan kaki keluar bus dengan sebuah senyum yang tercipta karena seorang yang tak kukenal.
Bus tempat aku menemukan cinta di dalamnya melaju pergi meninggalkanku bersama rasa yang membuatku melayang bersama bayangan seniman muda.
Semoga waktu masih memihakku menemukannya kembali dengan rasa yang sama. Dan membangun cinta seutuhnya.

PASRAH HATI PADA CINTA

Oleh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku begitu sakit
Ketika kau tancapkan pisau
Pada hatiku, pusat segala rasa
Padahal aku rindu, dan tetap mencintaimu

Itu yang kurasa saat Adhil meninggalkanku beberapa minggu lalu. Kalau seandainya aku tak malu untuk memintanya kembali, aku pasti lakukan itu demi cintaku. Tapi aku tahu, bahwa aku seorang wanita yang dipandang serakah bila menancap cinta pada lelaki.
Aku baru sadar. Ternyata posisi lelaki itu sangat enak. Menguasai segala hal. Yah, mereka punya banyak kesempatan untuk bercinta. Tidak lain karena mereka tidak pernah mampu disakiti wanita.
Adhil lelaki yang selama tiga tahun sudah bersamaku. Ah,. Aku kira semua itu akan menjadi cinta sejati. Tapi nyatanya sejenak nyaris tak ada.

Aku tak lagi memiliki rasa cinta
Bila nyatanya cinta pertama tak ada
Hati kan kututup,
Sampai nanti ada lelaki berkelana mencariku sebagai yang dipuja


Akhirnya akupun berusaha bangkit dari lelah dan dukaku. Aku tak boleh mati karena perasaan ini. Aku harus mampu beranjak dari alur cerita Adhil yang lalu. Yang terbiasa menyuruhku menengadahkan tangan dikala langit mendung. Menyuruhku menunggu matahari ketika terganti senja. Aku harus lepas dari memory itu! Aku pasti mempu demi masa depanku.

@@@

Satu bulan setelah kuhapus bayangan Adhil dari hatiku. Ternyata aku dihadapkan pada masalah baru. Bapak memintaku untuk menikah dengan Fahri, sepupuku sendiri.
Tiba-tiba jiwaku tergoncang. Aku seperti digoyang oleh bayang-bayang Adhil. Aku takut, aku khawatir tak mampu mencintai lelaki pilihan Bapak. Karena aku sadar. Ternyata Adhil masih membekas di hatiku.
Akhirnya aku menolak pada Bapak dengan alasan masih mau sekolah. Ternyata permohonanku nyaris tak terjawab. Bahwa aku harus rela pergi dari rumah kalau melanggar apa yang beliau pinta.
Aku sadar, bahwa apa yang ia perbuat adalah untuk menyambung persaudaraan. Bahkan untuk melindungi diriku dari lelaki pemilik cinta yang dusta. Ya, aku harus mampu menepis rasa keberatanku ini. Aku harus benar-benar lupa pada Adhil. Dia bukanlah cinta yang halal bagiku. Aku yakin aku mampu membuka hatiku kembali. Siapa tahu Kak Fahri adalah lelaki yang sedang berkelana mencariku.
Akupunn melalui hari-hariku. Dan saat ini adalah aku sebagai istri Kak Fahri. Malam ini penentu cinta kami tuk dipadu. Aku akan selalu berusaha menjadi istri yang sholihah…

Pada malam itu
Aku temukan secercah cahaya putih
Bernama cinta dari Ilahi
Dan itu adalah lelaki pendamping hidupku kini


Benar! Cinta ternyata bisa dengan belajar…
Aku mencintaimu, Kak Fahri…

RETORIKA HATI FANYA

Oleh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku membutuhkannya
Aku ingin ia kembali
Mendampingiku melaju
Bersama bayang hari esok

Pagi di rumah Fanya, dia melirikkan matanya ke arah foto Zuan sahabatnya yang telah pergi meninggalkannya. Matanya bening, alisnya yang indah membuat ia tetap kelihatan segar dan cantik meski air mata yang suci telah menjadi hiasan lukanya.
Fanya hanya seorang cewek yang tak mampu mengalirkan kehidupannya. Bahkan untuk menjaga dirinya pun ia masih tak bisa. Benar jika Fanya merasa kehilangan atas tak adanya Zuan, karena selama ini Zuanlah yang menjaganya. Bahkan memberinya kekuatan dalam hidup yang telah ia lalui dengan iringan musik kesepian dan kesedihan.
Kepergian Zuan bukanlah kamauannya. Fanya yang meminta Zuan pergi dari sisinya. Entahlah apa alasan Fanya melakukan hal itu. Tapi yang jelas, Fanya telah menyesali apa yang ia perbuat.
Tepat di persimpangan jalan menuju sekolah, Fanya melihat Zuan bersama cewek yang sejajar dengannya. Fanya diam. Mata mereka tiba-tiba berjumpa dalam pandangan yang satu. Zuan manatap fanya. Lalu dengan cepat Fanya mengalihkan penglihatannya. Dan ia pun beranjak dari tempat berdirinya.
Fanya ternyata memikirkan apa yang ia lihat sebelumnya. Seorang Zuan bersama dengan cewek lain. Memang Zuan dengan Fanya hanya sebatas sahabat. Bahkan saat ini sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Tapi rasa cemburu masih hadir di hati Fanya. Dia memang tidak mencintai Zuan melebihi sahabat. Tapi ada satu hal jika Zuan sudah memiliki kekasih, maka waktunya semakin tak ada untuk Fanya.

Ada ketakutan yang mulai menghantuiku
Banyak kesulitan yang tak mampu kulalui
Dan itupun hanya bisa
Bila aku bersama denganmu…

Fanya jatuh sakit. Air matanya selalu berlinang. Tak ada yang mampu memahaminya. Bahkan Ibunya sendiri tidak tahu apa yang telah membuat Fanya menjadi sakit.
Akhirnya jalan satu-satunya yang Ibu Fanya pilih adalah menemui Zuan, sahabat Fanya dari SD. Karena Ibu Fanya tahu dialah satu-satunya sahabat Fanya.
Zuan terkejut ketika mendengar kabar bahwa Fanya jatuh sakit. Spontan Zuan berlarian menuju ke rumah Fanya. Sedikitpun tak terlintas ingatan bahwa ia telah diusir oleh Fanya.
Zuan memandangi Fanya yang masih tak membuka matanya. “Hei sahabat baikku. Nona Fanya… Zuan datang non…” ia berbisik lirih di telinganya. Tiba-tiba Fanya terbangun dan menatap Zuan tak percaya. “Kamu kok di sini? Bukankah aku telah menyuruhmu pergi?” mendengar ucapan Fanya, tiba-tiba Zuan teringat atas apa yang telah terjadi antara mereka dua bulan lalu. Zuan diam. Dia merasa harus tetap berada di sisi Fanya. Meski ternyata Fanya selalu menyuruhnya untuk menjauh. Sebenarnya masalah yang melatar belakangi kejadian itu hanya sepele. Tentang ketidak datangan Zuan disaat Fanya memanggilnya sore itu. Fanya merasa Zuan telah memiliki yang lain. Dengan itu hati Fanya beda. Ia tiba-tiba memilih untuk menyuruh Zuan pergi dari pada nanti ia akan tersakiti di akhir hari…
“Fanya, sebenarnya apa sih salahku? Sampai-sampai kau tidak mau lagi menatap mukaku? Sebesar apa kebencianmu padaku?” Fanya diam. Dia Cuma mampu mengeluarkan air matanya. Fanya tahu dirinya sangat merindukan Zuan. Bahkan dia ingin Zuan kembali di sampingnya. Tapi semua itu tidak Fanya utarakan. Karena Fanya tahu, dia hanya seorang gadis yang tidak ada apa-apanya di mata Zuan. “Fanya, kamu tidak usah menjawab apapun. Aku tak memaksamu. Bahkan aku akan pergi jika itu memang kemauanmu. Aku ke sini karena Ibumu datang ke rumah, bahkan karena aku sangat mengkhawatirkanmu, Fanya. Ya sudah, aku janji nggak bakal ganggu kamu lagi.” Zuan beranjak dari samping Fanya. Fanya membiarkan semua itu berlalu… entah apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kalau Fanya memang sayang ia harus membiarkan Zuan pergi…? Semuanya hanya Fanya yang tahu.

Aku tahu,
Aku membutuhkannya
Tapi aku akan berlebihan
Jika ingin dia selalu di sisiku
Dia memiliki cinta
Dan aku tak mau memisahkannya
Biarkan musik luka ini menjadi temanku
Sebagai instrumen yang kan memberiku
Kekuatan meski tanpa Zuan…

Air mata Fanya mengalir deras melepas jejak langkah Zuan…
Dan semua kan menjadi cerita yang luka bagi Fanya. Karena Fanya pun sadar lukanya tidak akan pernah sembuh hingga nanti ada orang yang mau mengobatinya dengan ketulusan hati. Meski itu bukan Zuan…

CINTAKU, MAKSIATKU PADA-NYA

OLeh: Rara Zarary, XII IPS 4

Aku tengadahkan tangan lembutku di bawah langit. Berharap akan terjatuh air mata langit yang diperintah awan.
Siang itu mendung. Aku dan Raffi berlarian mencari tempat untuk berteduh. Setelah jam sekolah selesai, teman-temanku pun seperti itu, mencari tempat berteduh. Sambil berbincang dengan pujaan hatinya. Mereka bercinta.

Goyangan dedaunan menjadi saksi
Bebatuan memanjakan diri
Lalu batang-batang serta ranting
Mengikatkan diri, agar tak roboh
Jikalau petir dan guntur mulai berkelahi

Raffi menatapku dalam. Matanya yang tajam membuat jantungku berdetak kencang. Dia lalu tersenyum membawa hatiku terbang mengunjungi kebahagiaan.
Hujan membasahi bumi. Hingga senja, air mata langit tetap mengalir. Aku dan Raffi tak bisa pulang karena aku tahu, Raffi begitu anti dengan air hujan. Dia akan jatuh sakit.
Sampai rembulan dan para bintang bermunculan, petir dan guntur tetap menggelegar. Aku terkejut, lalu aku terjatuh dalam pelukan Raffi. Ada perasaan menguasai hati. Aku merasa nyaman dekat dan didekapannya. Tak ada perasaan lain selain aku mencintainya.
Aku terlepas dari dekapannya. Aku dan Raffi sudah capek menunggu hujan reda. Kami pun duduk kembali di tempat yang tetap. Aku meminjam bahunya sebagai tempat penepis rasa lelah. Aku tertidur pulas. Terbawa angin malam yang begitu mendinginkan tubuh.
Suara kucing mengagetkanku. Aku terbangun dari tidurku. Sungguh aku tak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tertidur dengan keadaan tak semestinya dengan Raffi. Kami sama-sama dalam keadaan telanjang. Aku berlari sebelum Raffi membuka mata. Entahlah, aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Aku takut. Aku sangat khawatir kalau kami telah melakukan zina. Karena kutahu sebelum tertidur, seragamku melekat pada tubuhku. Tapi tidak lagi ketika aku bangun. Ah… aku telah terkotori. Aku tak lagi suci!
Sampai di rumah aku dihadapkan dengan banyak pertanyaan. Masih pukul 02.30 dini hari. Rumahku sudah ramai dengan berbagai pertanyaan. Ayah marah geram. Dia memaksaku menjawab. Aku datang dari mana? Aku tak mampu berkata apa. Karena air mata pun masih menguasai suasana. Tanpa kutahu Raffi mengejarku ke rumah. Ayah keluar menemuinya dalam gelap malam. Baju Raffi masih tak terpakai. Ayah heran dan marah. Sekali lagi ia tanyakan apa yang terjadi pada malam itu.
Raffi dan aku saling menatap. Ayah memukul Raffi. Ayah mengerti apa yang telah terjadi. Bahwa aku dan Raffi telah melakukan suatu hal yang tak seharusnya terjadi.
Raffi berdarah. Lukanya dalam setelah Ayah mendorongnya hingga terkena bekas-bekas aspal yang kasar. Ada duri di sana. Aku menghampirinya. Ingin membangunkannya dalam keterpurukannya. Ayah semakin garang. Lalu dia mengusirku saat itu juga. Aku ditamparnya dan aku dimakinya. Aku mengerti perasaannya. Ia tak mau malu pada tetangga atas perbuatan ini. Maka dari itu Ayah mengusirku ketika pagi masih buta. Karena mata tetangga yang masih tak terbuka.
Terpaksa akupun pergi. Entah aku tak tahu kemana harus mencari hidup lagi. Atau aku akan lebih memilih mati dari pada menanggung malu diri.
Tangisku meledak. Aku menyesal atas apa yang terjadi. Tapi sungguh aku tak pernah merencanakan hal itu terjadi. Aku takut pada siksa Ilahi. Aku tak mau dimurkai.
Aku berlari. Jauh dari jarak Raffi. Aku mau sendiri tanpa Raffi yang telah mengotori tubuh ini. Aku akan pergi, meski sendiri. Karena aku tahu aku akan mati jika harus terus bersama Raffi dalam hidup ini. Aku ingin ke suatu tempat yang tak kukenali. Dan penduduk itu tak mengenaliku agar aku kekmbali mampu mensucikan diri dan terlihat suci. Meski pada hakikatnya, hatiku telah ternodai cinta ini. Padahal cinta adalah anugerah. Tapi semua ini malah terbalik. Cintaku serakah. Cintaku musibah.

CINTA, AKU KEJAR DUNIA

Oleh: Rara Zarary, XI IPS 4

Aku benci,
Aku hampir muak bertatap muka
Denganmu
Ayah, kau kejam!!
Tak mau memahami inginku
Kau tega
Perasaanku sampai membencimu

Pada malam gelap gulita itu, sajakku tercipta, terinspirasi lewat kekejaman lelaki pada istrinya. Aku melihatnya dengan jelas bagaimana kejadiannya. Karena lelaki itu adalah Ayahku.
Aku pun tak pernah tahu kenapa Ayah begitu kejam pada Ibu. Padahal, Ibu perhatian, sabar, cantik lagi! Kalau disangka punya pujaan hati lain, itu tidak mungkin. Karena aku tahu Ayahku tak seperti itu. Aku mencintai Ayah, tapi entahlah. Cinta itu kini sepertinya telah memudar. Terkadang ironisnya rasa benci hadir tanpa kumau.
Setiap pagi, sore, bahkan ketika matahari hampir terganti bulan, tiada lain musik yang kudengar. Kecuali pertengkaran Ayah-Ibuku. Aku ingin sekali berada di tengah-tengah mereka. Manjadi pemisah dan mendamaikan mereka. Mengikatkankembali hakikat cinta. Tapi sayang, aku tak berani. Karena aku tahu, aku akan kena marah. Karena aku terlalu kecil untuk ikut campur masalah orang dewasa. Sampai-sampai waktu itu aku ingin sekali cepat dewasa. Agar aku tak lagi diremehkan, dan aku mampu menepis ramai tengkar kedua orang yang paling kucintai.
Ibu memang wanita sabar, yang mampu menghormati suami meski perasaannya sudah terbakar. Beliau tetap perhatian pada Ayah. Do’anya selalu dia lantunkan khusus untuk Ayah. Tapi semua itu tidak berpengaruh. Ayah tetap seperti itu, mau menang sendiri. Aku tahu, memang Ayah yang membelanjakan kami. Tapi Ayah tidak berhak menginjak-injak hakku sebagai anak dan Ibu sebagai istri.
Sebenarnya beberapa tahun yang lalu Ayah tak seperti ini. Dia perhatian, baik, dan penyabar. Tapi sejak kekayaan ini di depan mata, lalu dinikmati dengan kesempurnaan rasa, Ayah lalu berubah warna. Ya, warna kehidupan Ayah sekarang tak indah di mata kami.
Apa maunya aku tak tahu. Ayah pergi dari rumah. Meninggalkan kami yang teraniaya sepi. Benar sendiri lebih sejati dan itu emnjadi kawan sejati kami.
Sejak itu, aku dan Ibu mulai belajar hidup yang semestinya. Sama dengan kehidupan tetangga lain. Yang setiap harinya terasa damai dan tenang.
Akhirnya aku dan Ibu bahagia. Kami pun tak pernah terlintas bayangan Ayah. Kami ingin melupakannya. Tapi aku mengerti, Ibu sangat sakit dengan keputusan ini. Karena aku tahu. Sekejam apapun Ayah,dia adalah lelaki yang bersemayam di hati Ibu. Ya, ibu mencintainya. Aku yakin Ibu lakukan keputusan itu karena aku. Aku yang tak mau lagi punya Ayah sepertinya.
Hingga sampai saat ini, kami belum bertemu atau mendengar kabar Ayah. Seperti ditelan bumi saja. Ayah menghilang…

Sebenarnya aku rindu
Tapi aku terlalu luka
Semestinya aku cinta
Nyatanya aku lupa
Ya, melupakanmu sebagai lelaki penyebab adaku

@@@

Aku tiba-tiba merasa takut mendekati lelaki. Aku tak ingin ada yang kedua dari Ayah dalam keluargaku. Aku mau sendiri. Tidak mengenali dunia lelaki. Bahkan taku mau bercinta. Karena aku pun tak mau kembali luka. Aku tak mau ada kekerasan lagi. Cukup aku hidup dengan Ibuku. Wanita yang nestapa karena cinta lelaki. Tapi tidak. Sekarang dia bahagia denganku. Buah hati yang mencintainya.

Dosakah aku
Bila lupa Ayahku
Salahkah aku jika
hatiku menutup pintu cinta untuknya?
Aku terlalu layu…
Hingga kumbang tak mau merayu…
Dan ini gara-gara kamu, Ayahku…


Umurku sudah dewasa. Aku sudah paham ap arti semua. Termasuk kejadian lima tahun lalu. Saat Ayah memilih pergi meninggalkan Ibu. Tiada lain semua itu dia lakukan karena satu alasan; Ayah mengejar kekayaan. Ayah punya hak dan aku tak perlu lagi mengundangnya kembali ke sini. Dia sudah hidup bahagia di sana. Dan di sini aku dan Ibu juga bahagia. Maski sepi terkadang menyertai.

Aku dan hatiku bersama Ibu
Maafkan aku Ayah
Jika hatiku memilih garis lupa atas adamu
Aku tak bermaksud durhaka
Ini kulakukan karena ingin kurasakan bahagia,
Sama seperti pilihanmu
Meninggalkan Ibu demi harta…

NYANYIAN SENJA

Di senja itu
Kau hadir bersama bahagia jiwamu
Mengacaukan irama jantungku
Yang kau bawa terbang
Seiring kilauan pesonamu
Aku terhipnotis waktu
Pandanganku menerobos kedalaman matamu
Kata-kataku berserakan terbawa angin
Yang menyuarakan kidung asmara
Allah, betapa sempurna ciptaan-Mu
Hingga mampu membungkam suara-suara hati
Yang nyaris terdesak
(eL-@FY@AN, xii ips 1)

RINTIHAN KERINDUAN

Oleh: Im’s, XII Prog. Keagamaan

Wahai merpati dil langit
Bisakah kau meminjamkan sayapmu
Untuk mengantarkanku pada separuh jiwaku
Yang kini terpisah jarak dan waktu
Aku tak mampu membendung dahaga cinta yang memenuhi hatiku…
Aku sekarat tanpanya…
Kesedihan selalu menjadi kawanku di waktu siang
Dan menjadi mimpi buruk di malam hari
Aku menjerit memanggilnya
Menjerit sekuat tenaga
Hingga menembus cakrawala
Namun, tak kutemukan hadirnya
Bahkan tanda-tandanya pun tak ada
Bagaimana aku bisa melupakannya?
Sedangkan dia selalu bersemayam dalam imajinasiku
Sungguh, rindu ini sangat menyakitiku
Bagai bumi yang merindukan hujan
Aku haus akan cintanya…

CINTAKU DIVONIS

Oleh: Dee, XII Prog. Keagamaan

Aku ingin mengusung cita
Lewat hamparan usaha

Membai’at diri dengan pena
Di atas kertas putih aku meringis
Ah… darah segar mengucur
Dihunus tinta

Kawan, panggullsh senjata kalian
Menulislah!

MADURA

Oleh: Dee, XII Prog. Keagamaan

Keras baja nyalakan merah
Tajam celurit tebar darah :
M A D U R A
Tahukah kalian ?
Madura jawab sejarah tangis fajarku
Rentang asa bintang gemilangku
Saksi putus layanganku
Tunggu camour tanahku
Madura…
Aku abdimu.