Kamis, 10 Desember 2009

Maha Dewi

Oleh: Zhie Al-gility, XII IPS 1

Maha Dewi…..
Matamu terpaku di bumi
Bagai mayat tanpa eksperesi
Nuranimu berlapis tabir Ilahi
Berdiri seakan tanpa kaki
Bergeming kalbuku menyapamu
Mengintip seribu purnama di matamu
Sungging senyummu membuatku membatu.
Ku tata, pecah jantungku
Dan ku rangkai kembali syaraf-syarafku.
Ku temui aku sendiri
Tanpa tahu engkau berlalu
Ku dengar dendang lagu yang menjauh
“sebut namaku jika rindu menyiksamu”
Namun…….
Saat ku intip engka dari jauh
Ketika bola matamu
Tak lagi menembusku
Engkau ternyata bukanlah sang Dewi yang ku puja
Melainkan pelangi di angkasa
Indah karena langit tak berwarna
Akan ku tunggu warnamu alam nanti
Jika pesonamu tak pudar
Aku akan menjadi pemujamu
Walau purnama selamanya tak mucul lagi

CINTAKU TAK MENGENAL ALASAN

Oleh: Zhie Al-gility, XII IPS 1


Aku tak pernah menyesal mengenalmu, sekalipun pada akhirnya kau mengotori persahabatan ini dengan noktah merah muda. Noktah yang tak pernah aku inginkan, dan harus ku sesali, kenapa harus kamu?. Tapi mungkin ini memang bukan salahmu, tapi SALAHKU. Ya, salahku. Kenapa aku harus begitu memperhatikanmu. Aku pikir inilah wujud persahabatan. Namun ternyata kamu memaknainya sebagai torehan jiwa. Aku tak tahu, apa yang mesti ku sikapkan dihadapanmu. Jika segala sikapyang aku tunjukkan, kamu maknai sebagai sebuah harapan.
“maafkan aku Ran, aku tahu kamu akan membenciku. Ini memang tidaklah pantas bagi seorang AKU. Tapi ini adalah sebuah kejujuran, yang untuk mengutarakannya saja butuh usaha” ucapmu kala itu di taman senja.
“aku ingin bertanya satu hal sama kamu. Kamu ingin kejujuran apa kebohongan?”tanyamu dengan ekspresi yang sulit untuk ku tebak.
“kebohongan” jawabku asal. Kamu menatapku tak percaya.
“berarti kamu hanya ingin hidup dalam sandiwara” ucapmu sambil mencabut rumput yang ada didepanmu.
“yang pastinya lan, semua orang butuh kejujuran. Siapa coba yang mau pada kebohongan?” aku mencoba meluruskan jawabanku.
“kalau begitu, kamu siap untuk menerima kejujuran?”
“siapa takut!!!”
Kamu mendengus. Aku baru menyadari. Ini adalah pembicaraan yang sangat berbeda selama 6 tahun kita bersahabat. Akmu bukan lagi sosok Alan yang optimis dan periang. Tapi sosok yang ada dihadapanku ini adalah sosok yang penuh keputusasaan. Dimana kau sembunyikan identitasmu sahabat?.
Aku sabar menunggu diammu. Sampai waktu benar-benar mengizinkanmu bicara kejujuran yang aku sendiri tak tahu.
“Ran, jika seandainya selama ini aku tak pernah menganggapmu sahabat, apakah kamu marah?”tanyamu sambil menatapku. Aku mencoba mencari arti dalam matamu, tapi mata itu begitu kokoh menyembunyikan sir mu.
“ya, mungkin aku marah, karena ternyata selama enam tahun ini kamu tak pernah menganggap aku ada sebagai sahabatmu. Maafin aku ya Lan, jika selama enam tahun ini aku tidak bisa menjadi sahabat baik untukmu, ”ucapku kecewa. Ya, aku memang kecewa. Lalu apa arti seorang Rani bagi Alan yang selama ini selalu berusaha untuk bisa menjadi sahabat baik?
“Bukan itu maksudku, Ran, aku memang tak pernah mennganggapmu sebagai sahabat. Itu semua….karena……aku mencintaimu, Rani,” ucapmu sambil berdiri lalu berjalan menjauhiku. Sementara aku masih terpaku, tak percaya apa yang baru saja ku dengar. Aku yankin itu bukanlah Alan. Tapi dalam sadarku, itu memang benar-benar Alan, sahabatku. Lagi-lagi ini bukanlah salahmu, jika pada akhirnya kamu mencintaiku. Tapi satu hal yang harus kau sadari, kamu tahu bahkan sangat tahu, aku telah bersama Fahri, sahabatmu.Dan kamu tahu aku mencintai Fahri. SANGAT. Aku berusaha mengejarmu, walau aku tak tahu dengan alasan apa aku mengejarmu.
“Lan, tunggu!” cegahku, dan tanpa sadar aku telah memelukmu, erat. Satu kebodohan yang benar-benar salah. Selama ini aku memang benar-benar menyayangimu sebagai sahabat, tak lebih. Tapi sekarang, perlukah hal itu dipertanyakan?.
“Aku tahu, Ran, aku sangat tahu” ucapmu sambil melepas pelukanku .“Aku tahu cintamu hanya untuk Fahri, dan aku sadar aku tdak akan pernah sanggup menggantikan Fahri di hatimu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, cintaku tak butuh balasan. Cintaku tak menuntut jawaban. Aku hanya ingin kamu tahu, di sini ada aku, yang mengharapmu untuk ada. Di sini ada aku yang mencintaimu.Itu saja sudah cukup bagiku.” Ucapmu sambil mengusap air mata yang sudah mulai rewel membasahi pipiku.
“Cintaku tidak menyuruhmu menangis.” Ucapmu lalu memelukku. “Aku janji padamu, aku tidak akan pernah mengganggu kehidupanmu dengan Fahri. Aku ttidak akan pernah lagi mengusikmu dengan cintaku yang telah membuatmu bersedih. Aku janji, jika itu ynag ternaik untukmu.” Ucapmu lalu berlari meninggalkanku. Meninggalkan sepenggal rasa, yang aku sendiri haris menempatkan rasa itu dimana? Jika semua rasa itu telah dipenuhi dengan nama”Fahri”. Tapi kenapa aku tak rela melepasmu? Tuhan…..kepada siapa cintaku kau labuhkan?
Sebulan sudah, aku tak lagi melihatmu untuk sekedar menemaniku menikmati senja. Kau benar-benar menghilang sesuai janjimu. Janji yang tak seharusnya kau ucapkan, karena aku masih mengharapmu untuka ada di sini merangkai hari bersamaku, karena kamulah yang membuatku benar-benar membuatku ada. Aku tak pernah tahu dengan alasana apa kau mencintaiku. Aku bukanlah seorang wanita yang dikagumi dengan keindahan parasnya, dan aku bukanlah seorang yang pintar yang bisa menyihirmu untuk mencintaiku. Tapi aku adalah seorang, yang dunia pun tak pernah sudi mengenalku. Tapi kau hadir da membuatku benar-benar merasa ada, dengan cintamu.
“Aku mencintaimu tanpa alasan, karena aku mengenalmu bukan dengan alasan. Karena aku tahu, ketika alasan itu hilang cinta pun akan lenyap. Aku mencintaimu bukan karena sebuah alasan karena aku ingin menjadi pemujamu. Sampai nafasku tak mampu lagi untuk berhembus”
Sepenggal memoar itu, yang akan selalu ku ingat. Dan sekarang aku mengerti, cinta kita tak beralasan.

Untuk orang yang mengenalkanku pada kedamaian.