Mungkin tak banyak orang yang mengenalku, tak banyak pula yang tahu tentangku. Bagaimana mungkin, aku hanya seorang gadis yang tertakdir lahir di sebuah desa. Desa yang telah membuatku tumbuh menjadi mawar tak berduri, desa yang telah membuatku mengenal tawa juga aksara dunia. Ibuku, seorang wanita muda yang tak punya suara. Ayahku, seorang laki-laki desa yang…..ah…aku muak mengingatnya! Bukan karena aku tak menyayanginya, tapi ayah sendiri yang mengajariku untuk tak menyayangi apapun, selain diri sendiri.
Aku tumbuh di kalangan masyarakat yang selalu sibuk mencibir kesalahan orang lain, sedang dosanya tak terhitung. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, satu-satnya anak perempuan di rumahku selain Ibu. Hidup selalu membuatku bertanya, kenapa aku terlahr sebagai perempuan? Yang hidupnya selalu dikesampingkan. Kenapa aku terlahir sebagai perempuan? Yang tak pernah lepas dari cibiran. Namun salahkah aku menjadi perempuan, hingga aku harus selalu disalahkan? Apakah kesalahanku menjadi perempuan, hingga aku harus menahan ribuan kebencian?
Bukan pilihanku, tapi Tuhan yang memlihkannya untukku. Begitu kata Ibu. “Takdir tak mempermainkanmu, bukan pula Tuhan!”, jelasnya padaku. Lalu siapa, siapa yang bersalah hingga aku begini.bahkan telah tertanam di benakku, “Terlahir sebagai perempuan takkan pernah membuatku beruntung”.
Karena aku perempuan, aku harus mengalah pada kedua saudaraku yang laki-laki. Karena aku perempuan, aku rela menerima getirnya kehidupan. Karena aku pun perempuan, aku harus merasakan jatuh cinta. Bukan ini yang ku mau! Bukan hidup yang seperti ini yang ingin ku pilih, Tuhan! Terlahir sebagai perempuan tak membuatku bersuara, bahkan untuk memilih.
Perempuan mana yang mau dinikahkan diusia 15 tahun, disaat ia menikmati hidupnya sebagai pelajar, disaat ia berusaha bejuang melawan arus keterbelakangan. Menikah siri dengan alasan mahrom, itu yang kujalani beberapa tahun lalu. Tak ada yang memberitahuku, bahkan hanya untuk sekedar meminta pendapatku. Tak tahunya aku telah diakad dengan seorang laki-laki yang ‘baik’ kata Ayah-Ibuku. Karena kegigihanku lah yang tetap menolak untuk tinggal serumah dengannya, hingga aku tetap bisa melanjutkan sekolah di sini.
Pernikahan siri hanyalah sebuah gergaji untuk merobohkan dinding ke-mahroman. Dan setelah itu, aku tak ubahnya sampah yang kapan saja bisa dipungut sekaligus dibuang saat tak dibutuhkan. Aku menikah diusia 15 tahun dan menjanda diusia 16 tahun, lucu…?
TIDAK!!!
Aku bahkan sempat berfikir bahwa Tuhan tengah menertawakanku dari atas sana, karena makhluk yang diutusnya telah berhasil mencampakkan aku. Bukan hanya itu, ribuan cibiran tetanggapun harus terpaksa ku telan. Orang itu benar-benar membuangku. Kurang satu bulan dia menjatuhkan talaq, ia menikahi seorang wanita desa tetangga. Aku mengenalnya, begitupun wanita itu. Yang tak kusangka, wanita itu justru bahagia di balik ribuan bibir yang asyik mencemoohkaku.
Tak tanggung-anggung, begitu menikah siri ia meminta untuk membuat surat nikah di KUA dan resmi menjadi suami istri sekaligus tinggal satu atap dan meninggalkan sekolah yang sebenarnya lebih memberikannya masa depan. Ternyata aku lupa, keterbelakangan rupanya telah mendarahdaging di sini. Aku miris mendengarnya.
Namun di satu sisi, aku harus merasa beruntung karena keteguhankulah untuk tidak tinggal serumah dengannya dan tak memberikannya kesempatan sedikitpun untuk berani menyentuhku. Aku tak mau peduli orang akan berkata apa, karena bagi mereka seorang lelaki tidak mungkin menjatuhkan talaq kalau bukan istrinya yang membuat ulah, tanpa mereka sadari bahwa merek masih berada di ketiak laki-laki. Aku tetaplah mawar tanpa duri, tapi aku bukan mereka yang kapan saja bisa dijamah dan dinikmati lelaki.
Dari balik kebencian ini, syukurlah kini keluargaku mulai membuka mata untuk memperjuangkan pendidikanku sebagai satu-satunya perempuan putri mereka. Dan saya minta kepada pembaca sekalian untuk senantiasa mengiringi saya dengan doa agar jalan saya ke depan penuh hikmah meski dengan jalan terjal, karena Insyaallah setelah lulus dari MA I Annuqayah Putri ini nanti saya akan mengikuti kakak saya ke Sudan, di fakultas kedokteran, Insyallah!
Satu hal yang harus kita ingat, pernikahan di usia dini bukan satu-satunya pilihan meski dengan alasan apapun, karena yakinlah suatu saat nanti akan timbul penyesalan yang sangat.
XI IPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar