Oleh: Rara Zarary, XI IPS 4
Aku benci,
Aku hampir muak bertatap muka
Denganmu
Ayah, kau kejam!!
Tak mau memahami inginku
Kau tega
Perasaanku sampai membencimu
Pada malam gelap gulita itu, sajakku tercipta, terinspirasi lewat kekejaman lelaki pada istrinya. Aku melihatnya dengan jelas bagaimana kejadiannya. Karena lelaki itu adalah Ayahku.
Aku pun tak pernah tahu kenapa Ayah begitu kejam pada Ibu. Padahal, Ibu perhatian, sabar, cantik lagi! Kalau disangka punya pujaan hati lain, itu tidak mungkin. Karena aku tahu Ayahku tak seperti itu. Aku mencintai Ayah, tapi entahlah. Cinta itu kini sepertinya telah memudar. Terkadang ironisnya rasa benci hadir tanpa kumau.
Setiap pagi, sore, bahkan ketika matahari hampir terganti bulan, tiada lain musik yang kudengar. Kecuali pertengkaran Ayah-Ibuku. Aku ingin sekali berada di tengah-tengah mereka. Manjadi pemisah dan mendamaikan mereka. Mengikatkankembali hakikat cinta. Tapi sayang, aku tak berani. Karena aku tahu, aku akan kena marah. Karena aku terlalu kecil untuk ikut campur masalah orang dewasa. Sampai-sampai waktu itu aku ingin sekali cepat dewasa. Agar aku tak lagi diremehkan, dan aku mampu menepis ramai tengkar kedua orang yang paling kucintai.
Ibu memang wanita sabar, yang mampu menghormati suami meski perasaannya sudah terbakar. Beliau tetap perhatian pada Ayah. Do’anya selalu dia lantunkan khusus untuk Ayah. Tapi semua itu tidak berpengaruh. Ayah tetap seperti itu, mau menang sendiri. Aku tahu, memang Ayah yang membelanjakan kami. Tapi Ayah tidak berhak menginjak-injak hakku sebagai anak dan Ibu sebagai istri.
Sebenarnya beberapa tahun yang lalu Ayah tak seperti ini. Dia perhatian, baik, dan penyabar. Tapi sejak kekayaan ini di depan mata, lalu dinikmati dengan kesempurnaan rasa, Ayah lalu berubah warna. Ya, warna kehidupan Ayah sekarang tak indah di mata kami.
Apa maunya aku tak tahu. Ayah pergi dari rumah. Meninggalkan kami yang teraniaya sepi. Benar sendiri lebih sejati dan itu emnjadi kawan sejati kami.
Sejak itu, aku dan Ibu mulai belajar hidup yang semestinya. Sama dengan kehidupan tetangga lain. Yang setiap harinya terasa damai dan tenang.
Akhirnya aku dan Ibu bahagia. Kami pun tak pernah terlintas bayangan Ayah. Kami ingin melupakannya. Tapi aku mengerti, Ibu sangat sakit dengan keputusan ini. Karena aku tahu. Sekejam apapun Ayah,dia adalah lelaki yang bersemayam di hati Ibu. Ya, ibu mencintainya. Aku yakin Ibu lakukan keputusan itu karena aku. Aku yang tak mau lagi punya Ayah sepertinya.
Hingga sampai saat ini, kami belum bertemu atau mendengar kabar Ayah. Seperti ditelan bumi saja. Ayah menghilang…
Sebenarnya aku rindu
Tapi aku terlalu luka
Semestinya aku cinta
Nyatanya aku lupa
Ya, melupakanmu sebagai lelaki penyebab adaku
@@@
Aku tiba-tiba merasa takut mendekati lelaki. Aku tak ingin ada yang kedua dari Ayah dalam keluargaku. Aku mau sendiri. Tidak mengenali dunia lelaki. Bahkan taku mau bercinta. Karena aku pun tak mau kembali luka. Aku tak mau ada kekerasan lagi. Cukup aku hidup dengan Ibuku. Wanita yang nestapa karena cinta lelaki. Tapi tidak. Sekarang dia bahagia denganku. Buah hati yang mencintainya.
Dosakah aku
Bila lupa Ayahku
Salahkah aku jika
hatiku menutup pintu cinta untuknya?
Aku terlalu layu…
Hingga kumbang tak mau merayu…
Dan ini gara-gara kamu, Ayahku…
Umurku sudah dewasa. Aku sudah paham ap arti semua. Termasuk kejadian lima tahun lalu. Saat Ayah memilih pergi meninggalkan Ibu. Tiada lain semua itu dia lakukan karena satu alasan; Ayah mengejar kekayaan. Ayah punya hak dan aku tak perlu lagi mengundangnya kembali ke sini. Dia sudah hidup bahagia di sana. Dan di sini aku dan Ibu juga bahagia. Maski sepi terkadang menyertai.
Aku dan hatiku bersama Ibu
Maafkan aku Ayah
Jika hatiku memilih garis lupa atas adamu
Aku tak bermaksud durhaka
Ini kulakukan karena ingin kurasakan bahagia,
Sama seperti pilihanmu
Meninggalkan Ibu demi harta…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar