OLeh: Rara Zarary, XII IPS 4
Aku tengadahkan tangan lembutku di bawah langit. Berharap akan terjatuh air mata langit yang diperintah awan.
Siang itu mendung. Aku dan Raffi berlarian mencari tempat untuk berteduh. Setelah jam sekolah selesai, teman-temanku pun seperti itu, mencari tempat berteduh. Sambil berbincang dengan pujaan hatinya. Mereka bercinta.
Goyangan dedaunan menjadi saksi
Bebatuan memanjakan diri
Lalu batang-batang serta ranting
Mengikatkan diri, agar tak roboh
Jikalau petir dan guntur mulai berkelahi
Raffi menatapku dalam. Matanya yang tajam membuat jantungku berdetak kencang. Dia lalu tersenyum membawa hatiku terbang mengunjungi kebahagiaan.
Hujan membasahi bumi. Hingga senja, air mata langit tetap mengalir. Aku dan Raffi tak bisa pulang karena aku tahu, Raffi begitu anti dengan air hujan. Dia akan jatuh sakit.
Sampai rembulan dan para bintang bermunculan, petir dan guntur tetap menggelegar. Aku terkejut, lalu aku terjatuh dalam pelukan Raffi. Ada perasaan menguasai hati. Aku merasa nyaman dekat dan didekapannya. Tak ada perasaan lain selain aku mencintainya.
Aku terlepas dari dekapannya. Aku dan Raffi sudah capek menunggu hujan reda. Kami pun duduk kembali di tempat yang tetap. Aku meminjam bahunya sebagai tempat penepis rasa lelah. Aku tertidur pulas. Terbawa angin malam yang begitu mendinginkan tubuh.
Suara kucing mengagetkanku. Aku terbangun dari tidurku. Sungguh aku tak menyangka hal ini akan terjadi. Aku tertidur dengan keadaan tak semestinya dengan Raffi. Kami sama-sama dalam keadaan telanjang. Aku berlari sebelum Raffi membuka mata. Entahlah, aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Aku takut. Aku sangat khawatir kalau kami telah melakukan zina. Karena kutahu sebelum tertidur, seragamku melekat pada tubuhku. Tapi tidak lagi ketika aku bangun. Ah… aku telah terkotori. Aku tak lagi suci!
Sampai di rumah aku dihadapkan dengan banyak pertanyaan. Masih pukul 02.30 dini hari. Rumahku sudah ramai dengan berbagai pertanyaan. Ayah marah geram. Dia memaksaku menjawab. Aku datang dari mana? Aku tak mampu berkata apa. Karena air mata pun masih menguasai suasana. Tanpa kutahu Raffi mengejarku ke rumah. Ayah keluar menemuinya dalam gelap malam. Baju Raffi masih tak terpakai. Ayah heran dan marah. Sekali lagi ia tanyakan apa yang terjadi pada malam itu.
Raffi dan aku saling menatap. Ayah memukul Raffi. Ayah mengerti apa yang telah terjadi. Bahwa aku dan Raffi telah melakukan suatu hal yang tak seharusnya terjadi.
Raffi berdarah. Lukanya dalam setelah Ayah mendorongnya hingga terkena bekas-bekas aspal yang kasar. Ada duri di sana. Aku menghampirinya. Ingin membangunkannya dalam keterpurukannya. Ayah semakin garang. Lalu dia mengusirku saat itu juga. Aku ditamparnya dan aku dimakinya. Aku mengerti perasaannya. Ia tak mau malu pada tetangga atas perbuatan ini. Maka dari itu Ayah mengusirku ketika pagi masih buta. Karena mata tetangga yang masih tak terbuka.
Terpaksa akupun pergi. Entah aku tak tahu kemana harus mencari hidup lagi. Atau aku akan lebih memilih mati dari pada menanggung malu diri.
Tangisku meledak. Aku menyesal atas apa yang terjadi. Tapi sungguh aku tak pernah merencanakan hal itu terjadi. Aku takut pada siksa Ilahi. Aku tak mau dimurkai.
Aku berlari. Jauh dari jarak Raffi. Aku mau sendiri tanpa Raffi yang telah mengotori tubuh ini. Aku akan pergi, meski sendiri. Karena aku tahu aku akan mati jika harus terus bersama Raffi dalam hidup ini. Aku ingin ke suatu tempat yang tak kukenali. Dan penduduk itu tak mengenaliku agar aku kekmbali mampu mensucikan diri dan terlihat suci. Meski pada hakikatnya, hatiku telah ternodai cinta ini. Padahal cinta adalah anugerah. Tapi semua ini malah terbalik. Cintaku serakah. Cintaku musibah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar