Senin, 07 Desember 2009

Inikah Rasanya Jatuh Cinta?

Oleh: “Anak Titipan”, XI IPA


Aku sampai di rumah sekitar jam 07:00. kak Ryan yang menjemputku dari pondok. Entah untuk apa. Aku menatap rumahku. Rumah sepi seolah tanpa penghuni. Tak ada Bapak yang menyambutku. Hanya tanaman bunga pakis cina yang menyambutku di halaman. Kuncupnya tak segar walau hari masih pagi. Pertanda bunga itu jarang memperoleh air. Pasti Bapak lupa menyiramnya. Aku turun dari sepeda. Terpaku menatap pintu rumahku. Berharap Bapak akan segera keluar dari dalam. Menyambut kedatanganku dengan senyumnya kasihnya. Menghujaniku dengan pelukan hangatnya. Tapi ternyata pintu itu tak juga terbuka.
Kamana Bapak? Kenapa dia tak menyambut kedatanganku? Apakah dia tak tau kalau aku datang? Apa dia tak tau kalau kakak telah menjemputku? Laluuntuk apa aku pulang? Tanya hatiku. Entah pada siapa.
Aku jadi teringat kejadian yang telah enam bulan yang lalu. Saat penyakit ginjal dan lemah jantung menjangkit tubuhku. Memaksaku tinggal di rumah sakit untuk beberapa bulan. Bahkan aku sempat terbaring kaku di ruang ICU selama satu minggu. Betapa besar biaya yang harus dikeluarkan keluargaku untuk itu. Dan parahnya, tak ada Bapak di sampingku saat aku menjalani semua itu. Entahlah… mungkin Bapak terlalu sibuk menangkap ikan di laut, atau dia sibuk mencari uang, ngutang sana ngutang sini untuk biaya rumah sakit. Aku tak tau dengan jelas, alasan apa yang mendasari Bapak tak pernah mengunjungiku di rumah sakit. Emak juga tak ada di dekatku. Karena dia telah lama di panggil oleh sang penguasa jagat raya ini. Bahkan sebelum aku sempat merasakan belaian kasih sayangnya. Dia dipanggil saat dia melahirkanku.Yang ada hanya Ar-Rayan, kakak sepupuku yang baru datang dari Jombang. Dialah yang menjaga dan merawatku selama di rumah sakit. Bapak memang telah ‘menitipkan’ aku padanya, sejak dia lulus kuliah dan pulang ke rumahnya. Karena bapak sudah mulai sakit-sakitan.
Sejak saat itulah dia sering ke pondok mengunjungiku. Mengantarkan uang dan sebagainya. Dia juga yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan denganku, baik di sekolah ataupun di pondok. Bahkan yang menanda tangani Raporku semester kemaren adalah dia. Karena Bapak berhalangan datang ke acara pembagian Rapor itu. Entah apa alasannya. Padahal aku sudah menunggunya sejak acara belum di mulai. Berjam-jam aku berdiri di luar ruangan walau acara telah di mulai. Berharap Bapak akan muncul dengan sarung hijau dan baju koko putih yang selalu ia kenakan saat mengambil Raporku. Seperti tahun-tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku Madrasah 1 Tsanawiyah As-Shaleh. Karena memang hanya itu baju Bapak yang masih tergolong bagus. Sedang yang lain hanya pantas di pakai untuk pergi melaut. Itulah pakerjaan Bapak selama ini untuk mencukupi kebutuhan keluaragaku. Akupun mondok hanya berbekal semangat dan doa orang tua, selebihnya tak ada. Namun bukan Bapak yang datang untuk mengambil Raporku. Malah Kak Ryan yang datang saat itu. Aku kecewa bukan main. Ngambek hampir seharian. Tapi Kak Ryan berhasil menghilangkan kesalku. Dengan ceramah yang disampaikannya. Dan beribu alasan yang membenarkan ketidak hadiran Bapak dalam acara itu.
Pak. Kamu di mana? Kenapa kau tak menyabutku? Apakah memang benar dugaanku selama ini? Kau tak lagi sayang padaku. Sehingga kau melimpahkan semua tanggung jawabmu kepada Ar-Rayyan, keponakanmu. Kalau benar begitu adanya, betapa kejamnya dirimu padaku.
“Kamu sudah datang , Nak?” sapa Ibu Aisyah yang baru muncul di pintu. Dialah ibu Kak Ryan. Aku biasa memanggilnya ibu dari dulu. Dari dialah aku mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Dia adalah istri Om Sufriady, kakak kandung Bapak satu-satunya. Dia sering datang ke rumah sama Om Ady. Walau rumah kami berjauhan.Aku sangat dekat dengannya. Dari dialah kutemukan sosok seorang ibu.Bahkan sebelum aku kenal dan dekat dengan kakak. Karena kakak mondok sejak kecil. Ketika aku masih berumur tujuh tahun. Dan sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan dia. Dia tak pernah pergi ke rumah, walaupun liburan dia hanya pulang sebentar. Paling hanya pas hari raya dia pulang ke rumahnya. Aku tak tau kenapa dia sangat kerasan berada di pondok. Mungkin manisnya ilmu pengetahuan telah membuatnya mengabaikan rasa rindu pada kedua orang tua.
“Dek. Ayo salaman sama Emak. Kok malah berdiri di situ,” kata kakak padaku. Rupanya dia sudah selesai memarkir motornya ke halaman samping. Aku tersenyum lalu melanlkah ke serambi. Menyambut uluran tangan iub dan menciumnya. Ibu mengusap kepalaku sambil tersenyaum tulus. Aku membalas senyumnya.
“Bapak mana Bu” tanyaku padanya. Dia tak menjawab. Kutatap matanya. Ada kabut di sana. Ada apa ini? Batinku.
“Bu. Bapak mana?” kataku mengulang pertanyaanku. Ibu tetap tak menjawab, malah menoleh pada Kak Ryan yang ebrdiri di sampingku. Kutolehkan pandanganku pada Kak Ryan. Dahiku berkerut tak mengerti. Kakak meraih tanganku dan membawaku duduk di emperan.
“Dek. Sebenarnya ada sesuatau yang kakak sembunyikan dari Adek selama ini. Kakak terpaksa ngelakuin itu. Karena kakak takut itu akan membuat Adek shok, dan itu sangat berpengaruh pada kondisi jantung Adek,” kata kakak membuka pembicaraan.
“Ayo, Kak. Bilang apa yang akan kakak katakan. Apa yang kakak sembunyikan dari Adek?” tanyaku. Tanganku menarik-narik baju kakak. Kakak mendesah menatapku. Seolah ingin membuang jauh-jauh beban yang ada di hatinya. Aku semakin tak sabar untuk mendengar apa yang akan kakak katakan selanjutnya. Tanganku kembali menarik-narik baju kakak. berharap dia akan segera memulai kata-katanya.
“Apa Adek benar-benar sudah siap untuk mendengarnya?” tanyanya. Aku mengangguk dengan cepat.
“Sebenarnya sudah lama Bapak sakit. Kata dokter Bapak sakit sroke. Selama tujuh bulan Bapak di rawat di rumah sakit. Itulah alasan yang sebenarnya kenapa selama ini Bapak tak pernah datang ke pondok ngunjungin Adek. Bapak melarang kakak untuk ngasih tau sama Adek. Bapak takut hal itu akan membebani pikiran Adek adan mengganggu konsentrasi Adek. Dan atas alasan itu juga, selama ini kakak selalu menyuruh Adek berlibur di pondok saja.”
Air mataku sudah mengalir deras. Aku benar-benar tak percaya semua ini. Bisa-bisanya kakak menyembunyikan hal itu dariku. Padahal dia adalah Bapak kandungku sendiri. Harta yang kupunya satu-satunya. Karena aku memang tak punya saudara. Akulah anak pertama dan terhirnya. Dan selamam ini aku telah berprasangka buruk padanya. Menyangkanya tak lagi sayang padaku, dan melupakan aku. Terbayang semua kasih sayangnya padaku. Betapa keras usahanya untuk membesarkanku. Menjadi seorang Bapak sekaligus seorang ibu. Karena setelah Emak meninggal saat melahirkanku, dia telah berajanji untuk tidak menikah lagi. Dan janji itu ia tepati sampai sekarang. Dan kutau, itu bukan hal yang mudah baginya.
“Ma’afin Kakak ya, Dek. Kakak terpaksa lakuin itu. karena Bapak yang memintanya padaku,” kata kakak sambil menatapku. Aku tau pasti dia ngerasa serba salah.
“Mana Bapak sekarang, Kak?” tanyaku. Air mata tetap mengalir di pipiku. Aku tak tau, apa aku harus kecewa atau gimana pada kakak. semua rasa bersarang di hati dan otakku. Rasa kecewa, sedih, bersalah bercampur aduk dalam hatiku. Hanya satu yang kutau, kuingin bertemu Bapak secepatnya.
“Bapak ada di kamar sedang istirahat. Ayo kakak antar.”
Kakak meraih tanganku, membimbingku ke dalam rumah. Sampai di depan kamar Bapak, kakak tak langsung membuka pintu. Dia membawaku ke depan jendela kamar Bapak dan membuka horden yang menutupinya. Seketika terpampang di depanku pemandangan yang sangat memilukan. Tubuh Bapak terbujur di atas tempat tidur yang terbuat dari anyaman bambu. Matanya tertutup. Selimut kusam menutupi tubuhnya. Aku menutup mulutku, agar tangisku tak terdengar ke dalam kamar. Dadaku terasa sakit, nafasku mulai sesak. Kakak meraihku dalam pelukannya. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Sabar ya, Dek. Ini adalah cobaan dari Allah untuk menegtahui tingkat keimanan dan kesabaran kita. Kakak yakin, Adek mampu mengahadapi semua ini.” Kata kakak sambil mengusap kepalaku. Aku tetap menangis. Ada keinginan dalam hati untuk berontak pada taqdir dan mempertanyakan semua pada Tuhan.
Allah! Kenapa Kau timpakan semua ini pada aku? Benarkah ini cobaan atas imanku dan kesabaranku atau… hukuman atas dosa-dosaku? Kalau memang ini cobaaan, sudah pantaskah aku untuk menerima cobaan sebesar ini? Benarkah imanku sudah cukup kuat tuka hadapi semuanya, tanpa ada rasa su’udzan pada-Mu? Bukankah cobaan itu disesuaikan dengan tingkat keimanan? Seperti semesteran tergantung tingkat kelas? Benarkah ini cobaan?
Atau… ini adalah hukuman atas semua kesalahanku dan dosaku? Tapi… apakah aku akan mampu menjalani hukuman ini? Apakaha hatiku sanggup menerima semuanya dengan ikhlas tanpa penghianatan yang lebh besar pada-Mu? Keluh hatiku. Pikiranku semakin tak menentu. Imanku semakin terkikis oleh rasa ingin berontakku pada Tuhan. Kesabaran benar-benar telah pergi jauh dari hatiku. rasa sakit di dada kiriku semakin terasa. Menjalarkan rasa panas desertai sakit ke seluruh tubuhku. Nafasku semakin tak bisa diatur. Seolah mau keluar dalam satu hembusan. Membuat dadaku seolah mau pecah. Kurasakan bumi berputar dengan cepat. Cepat sekali. Hingga membuat tubuhku seolah ikut berputar. Lalu… gelap merajai dunia.

@@@

Sayup-sayup kudengar suara seseorang sedang melantunkan ayat suci Al-Quran. Ingin rasanya kumembuka mata, agar aku dapat melihat siapa yang sedang melantunkan kalam suci itu. Tapi mmataku sulit untuk terbuka. Seolah ada lem yang menjelitnya. Tubuhku terasa nyeri seperti orang yang yang sedang kesemutan. Kucoba sekuat tenaga untuk membuka mataku. Dan akhirnya…
“Adek sudah sadar,” kata Kak Ryan. Entah itu kalimat pernyataan atau kalimat pernyataan. Aku tak tau. Aku menatap ke arah sekitar. Om Ady dan Ibu Aisy tersenyum padaku. Lalu mereka berlalu, mungkin ke kamar Bapak yang berada di sebelah kamarku. Mungkin ke kamar Bapak.
“Adek minum dulu ya...” kata kakak sambil meletakkan Al-Quran di tangannya. Lalu dia meraih air di atas meja. Aku mencoba duduk, kakak membantuku. Rasa pening memenuhi kepalaku. Sakit di dada kiriku masih terasa. Mudah-mudahan saja sakit lemah jantungku tak kumat. Harap hatiku.
“Kak. Adek mau ninguk Bapak.”
“Apa Adek sudah siap?” tanya kakak padaku. Aku hanya diam. Tak tau harus menjawab apa. Karena aku memang tak tau apa aku benar-benar siap melihat kondisi bapak. Yang jelas aku harus melihat keadaan Bapak secepatnya.
“Baik. Ayo Kakak antar. Tapi Adek harus janji untuk tidak menangis di hadapannya. Tunjukkanlah pada Bapak bahwa Adek adalah orang yang kuat. Tunjukkan bahwa selama ini Bapak sudah berhasil mendidik Adek jadi orang yang tangguh, yang tak lemah. Kakak yakin, Adek pasti bisa,” kata kakak, mencoba menguatkan hatiku. aku hanya diam. Kakak membimbingku menuju kamar Bapak.
Kini aku telah berdiri di depan kamar Bapak yang hanya bersebelahan dengan kamarku. Kakak menepuk bahuku sebelum membuka pintu. Aku tau maksud kakak. dia pasti ingin bilang kalau aku harus tegar. Pintu terbuka lebar. Kulihat Bapak tetap terbaring. Tubuhnya tertutupi selimut liris-liris yang sudah lusuh. Air mataku kembali mengalir. Bahuku berguncang menahan tangisku agar tak bersuara. Aku melangkah, mendekati tempat tidur Bapak. Badan Bapak sangat kurus, hanya tinggal kulit dan tulang. Matanya terpejam rapat. Wajah tirus hampir menyerupai tenggorah. Kututup mulutku agar tak memekik. Aku terduduk bertumpu pada lututku. Air mataku terus saja mengalir. Kakak duduk di sampingku. Tangannya mengusap kepalaku. Kusandarkan kepalaku padanya.
“Sabar ya, Dek. Kita hadapi ini dengan rasa ikhlas. Serahkan saja semuanya pada Allah. Jangan pernah merasa bahwa hidup ini adalah sepenuhnya milik kita. Hidup ini milik Allah. Jadi terserah Allah mau diapakan saja. Karena Dialah yang Maha Tau yang terbaik untuk umatnya,” kata kakak memberi nasehat.
“Sejak kapan bapak sakit kak?”
“Sudah hampir delapan bulan. Bapak di rawat di rumah sakit selama kurang lebih enam bulan. Tapi dokter menyarankan agar Bapak dirawat di rumah saja. Tiga hari yang lalu Bapak di bawa pulang ke rumah ini.”
“Siapa selama ini yang menunggui Bapak di rumah sakit, Kak?”
“Kakak dan orang tua kakak. Dan mulai sekarang kita berdua yang akan merawat bapak. Kakak dan Adek yang akan merawatnya samapai sembuh. Adek akan etap sekolah kok. Kakak yang akan nganterin Adek tiap hari. Kita akan berusaha lakukan yang terbaik agar Bapak cepat sembuh. Adek mau kan?” tanya kakak sambil menatapku. Aku mengangguk. Kakak tersenyum dan mengusap kepalaku.
Sejak saat itulah aku dan kakak yang merawat Bapak. Memandikannya, mencuci bajunya, menyuapinya ketika makan, dan memberikan obat saat tiba waktunya. Kami bergantian menjaga Bapak. Om Ady dan Ibu Aisy tiap tiga hari datang menjenguk Bapak. Karena mereka juga sibuk dengan tani mereka.
@@@

Waktu bergulir, hari berlalu, bulan berlari, dan tahunpun berganti. Sudah satu tahun aku tinggal di rumah. Aku cuti dari pondok dan segala kegiatan yang berhubungan denganya. Tapi aku tetap bersekolah setiap hari. Sekarang aku sudah duduk di kelas XII. Umurku sudah menginjak tujuh belas tahun. Sebantar lagi aku akan menghadapi UAN dan UAS. Setelah itu aku akan terlepas dari lembaga yang selama ini menjadi tempat aku menuntut ilmu.
Teman-temanku sudah punya rencana mereka akan meneruskan ke mana. aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum saat mereka heboh membahas rencana mereka kuliah. Kalau mereka menanya padaku, kemana aku akan kuliah. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman atau dengan gelengan. Aku tak berani berharap lebih. Walau dalam hati tetap ada keinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi aku tau, takkan ada biaya untuk itu. Aku lulus MA saja itu sudah lebih dari cukup. Melihat keadaan Bpak yang seperti itu. Selama ini yang membiayai hidup dan sekolahku adalah Kak ryan. Begitupun dengan biaya Bapakku.
“Bel. Kamu kok nggak pernah cerita mau ngelanjutn kuliah ke mana? kalau di tanya cuamn senyum atau menggelang. Kenapa sih?” tanya Rany saat berjalan di koridor sekolah.
“Keadaan ekonomi keluargaku tak menjanjikan aku bisa kuliah. Jadi aku tak punya rencana apa-apa. Lagiankan masih lama,” jawabku.
“Tapi kan masih ada Kak Ryanmu,” tanya Rany.
“Aku tak enak sama dia Ran. Biaya Bapak selama ini tidak sedikit. Apalagi ditambah biaya hidupku. Jadi aku tak ingin menambah beban dia. Hidupkusam Bapak sekaran bergantung padanya. Jadi aku tak ingin menambah bebannya.”
“Tapi aku yakin dia akan berusaha agar kamu bisa kuliah. Dikan orang berpendidikan. Lulusan Jombang gitu lho…” katanya sambil mengernyitkan alisnya padaku. Entah apa maksudnya.
menyusahakannya, Ran. Apalagi dia hanya kakak sepupuku. Kebaikannya selama ini pada aku dan Bapak sudah lebih dari cukup. Apalagi diakan sudah dewasa. Sudah S1 dan memiliki pekerjaan tetap. Siapa tau sebentar lagi dia ingin menikah dengan orang yang menjadi pilihannya.”
“Lagian kenapa sih kalian tidak menikah saja?”
“Ah, ngawur kamu. Gimana kami bisa menikah sedangkan hubungan kami berdua sudah kayak sodara sendiri. Dia sudah menjadi kakak sekaligus Bapak bagiku. Jadi mana ada orang menikah sama kakanya sendiri.”
“Masak iya sih Bel, tak ada rasa apa-apa di hati kamu atau dia? Kaliankan sudah hidup berdua dalam satu rumah.”
“Lho… siapa bilang diantara kami memang sudah ada rasa dari dulu kok. Kami punya rasa mengasihi dan menyayangi. Seperti layaknya orang kakak beradik.”
“Maksudku bukan sebagai kakak dan Adek, Bel. Tapi lebih dari itu.”
“Ya nggak adalah, Ran. Lagian kamu ini ada-ada aja,” kataku sambil tersenyum.
“Tapi aku yakin Bel, pasti suatau saat akan ada. Ter adang cinta itu datang karena seringnya bersama.”
“Sok tau cinta lho..” kataku sambil mengacak jilbabnya.
“Aku kan memang pengalaman. Nggak kayak kamu yang jadi jomlo sejati,” katanya sambil cengingisan. Aku semakin mengacak kerudungnya. Menjadikannya tak lagi berbentuk.
“Eh, udah Bel. Tuh pangeranmu udah nunggu,” kata Rany menghentikan serangan tanganku. Aku mengikuti arah pandangannya. Ternyata Kak Ryan telah menungguku.
“Ya udah, aku duluan ya, Ran. Assamu’alaikum,” ucapku. Rany menjawab salamku. Aku segera berlalu dari hadapannya. Menuju tempat Kak Ryan menungguku.
@@@

Siang berganti malam. Matahahri telah kembali ke peraduan di gantikan sang rembulan sabit. Gelap menyelimuti bumi. Membuat bintang yang tak tampak pada siang hari menjadi terang walau tak benderang. Jam sudah menunjukkan angka 12:00. tapi Kak Ryan belum juga datang. Tadi siang dia tidak berpesan apa-apa. Padahal biasany dia selalu bilang kalau akan pulang malam. Atau setidaknya dia pasti nelpon atau SMS. Kaka memang sering pulang agak malam. Sejak Bapak sakit, kakak memang hanya bekerja di kantor dari siang sampai malam. Karena paginya dia harus mengantarkanku ke sekolah dan menjaga Bapak.
Aku mulai gelisah. Berjalan mondar-mandir di dekat Bapak yang sudah terlelap. Kadang duduk, kadang berdiri. Jarum jam terus berputar, tapi kakak belum juga datang. Aku putuskan untuk menunggu kakak sambil duduk di dekat Bapak. Kutatap wajah Bapak. Benar-benar tinggal kulit dan tulang. Tapi itu masih mending ketimbang setahun yang lalu. Sekarang Bapak sudah bisa berbicara meski sepatah dua patah. Aku mulai menguap beberapa kali. Kantuk muali menyerangku. Sedang kak Ryan tak juga datanng. Aku berjongkok di samping Bapak. dan entah di menit keberapa aku sudah terlelap.
Kurasakan rasa hangat di sekitarku. Aku seperti sedang melayang di udara. Hidungku mencium bau harum yang sangat familiar bagiku. Kubuka mataku. Ternyata kakak sedang menggendongku, membawaku ke tempat tidurku yang tak jauh dari Bapak. entah kapan dia datang. Tiba-tiba jantungku berdetak dengan cepat. Perutku tak enak, seperti ada kupu-kupu yang sedang berterbangan di dalamnya. Rasa hangat menjalari tubuhku, membuatku gametar tak karuan. Segera kututup mataku sebelum Kak Ryan mengetahui kalau aku terbangun.Kak Ryan membaringkan tubuhku, lalu menupinya dengan selimut. Dia mengusap pipiku sebelum berlalu ke samping Bapak. Menggantikan tempat dudukku di sana. Aku semakin tak karuan. Pikiranku sibuk menerka-nerka rasa apa yang sedang kualami ini. Karena aku tak pernah merasa seperti itu sebelumnya. Aku merasa sangat bingung. Mataku terpejam tapi aku tak tidur. Jantungku tetap berdetak cepat. Perutku terasa tak enak. Aku melirik Kak Ryan yang tidur sambil duduk di dekat Bapak. dan rasa itu semakin menguasaiku.
Ya, Allah. Apa yang terjadi denganku? Penyakit apa ini Tuhan? Adakah hubungannya dengan penyakit ginjalku yang dulu? Atau ini penyakit baru? Penyakit yang hanya menjangkit hati?Tapi kenapa hamba abru merasakannya sekarang? Lindungilah aku dari segala penyakit. Rintih hatiku. Aku membalikkan tubuhku. Membelakangi Kak Ryan. Berharap rasa itu akan sedikit berkurang. Kupejamkan mata, berharap akan segera terlelap. Tapi tetap saja tak bisa. Mataku tetap tak mau terpejam. Kesadaranku tak beranjak dari jiwaku. Aku benar-benar tersiksa. Rasa itu benar-benar tak membiarkan aku tenang. Akhirnya aku bangkit dari tempat tidurku dan berlalu ke kamar mandi. Menagmbil wudhu’ untuk mendirikan shalat malam.
“Ya, Allah. Kini hamba datang menghadap-Mu. Dengan beribu noda dan dosa. Ampunilah hamba ya, Allah. Agar hamba tenang dan damai menjalani hidup. Lindungilah hamba dan keluarga hamba dari segala macam penyakit. Dan berikanlah jalan penyembuhan kepada kami jika telah dilanda penyakit. Ampunilah dosa kedua orang tua hamba ya, Allah. Terimalah Emak di sisi-Mu. Sembuhkanlah penyakit Bapakku. Ringankanlah sakitnya, dan lapangkanlah hatinya, agar ikhlas menjalani taqdir-Mu. Serta lindungilah Kak Ryan ya, Allah. Terimalah setiap amal baiknya. Dan gantilah setiap keihklasannya dengan imbalan yang lebih besar. Jadikanlah semua pengorbanannya selama ini sebagai jembatan menuju surga firdaus-Mu. Sesungguhnya Engkaulah yang mengatur segala sesuatu yang ada di langit dad di bumi. Serta yang ada di antara keduanya. Hamba hanya berdoa dan Kaulah hakim terakhirnya.” Air mataku menglir deras. Membasahi sejadah hijau tempatku bersujud.
Jrum jam menunjuk angka 03:30. namun mataku tak juga mengantuk. Kuraih Al-Quran yang ada di sampingku. Kbaca ayayt-ayat cinta-Nya. Sedikit demi sedikit ketenangan menjalari hatiku. kuterus membacanya. Hingga subuh berkumanadang.
@@@

Satu minggu sudah aku menjalani hari dengan rasa aneh itu. Kumasih tak tau rasa apa itu. aku semakin menghindar dari Kak Ryan. Hubungan kami tak lagi seperti saudra. Aku tak lagi tidur di kamar Bapak. Kalau kakak sudah datang dari kantor, maka aku akan segera pergi ke kamarku. Agar aku tak bertemu dan tak melihatnya terus. Supaya rasa itu tak semakin menyerangku.
“Hai. Lho kok ngelamun terus. Lagi mikirin apa?” suara Rany mengagetkanku. Aku tersenyum padanya. Rany duduk di sampingku. Minuman PowerMix bertengger di tangannya. Rany menyodorkannya padaku. Aku menggelang. Rany kembali menariknya kemudian menyedotnya.
“Ada apa sih, Bal? kok akhir-akhir ini sikapmu berubah. Kamu jadi pendiam, suka ngelamun, dan kadang kamu geleng-geleng sendiri. Apa yang sedang membebani pikiranmu? Cerita dong, Bel. Aku kan teman karibmu sejak dulu.”
“Nggak kok , Ran. Nggak ada yang membebani pikiranku.” Jawabku.
“Kamu nggak usah bohong samam aku. Aku sudah mengenalmu sejak kita masih MTs. Jadi kau tak usah berusaha menutupinya dari aku. Kalau kau memang tak mau menceritakan masalahmu padaku, nggak apa-apa kok. Aku nggak marah,” kata Rany padaku. Aku berpikir sejenak. Mencoba menghilangkan rasa malu dan ragu dalam hatiku.
Haruskah aku menyembunyikan rasa ini dari Rany? Sedang selama ini Rany adalah orang yang paling dekat denganku? Tapi aku malu sama Rany. Bagaimana kalau nanti dia menertawakan aku dan menceritakan apa yang kualami pada teman-teman yang lain? Ah, itu tak mungkin. Tak mungkin Rany menghianati kepercayaanku padanya. Batinku. Rany sudah berdiri hendak beranjak dari hadapanku.
“Ran. Tunggu,” Kataku sambil menarik tangannya agar duduk kembali. Dia duduk di sampingku. Aku mulai bercerita semuanya. Semau rasa yang akhir-akhir ini sangat menyiksaku. Diluar dugaan, setelah aku selesai bercerita Rany bukannya memberi solusi, dia malah ketawa cengingisan. Aku melotot menatapnya. Bibirku maju beberapa senti.
“Sorry, sorry deh. Itu bagus, Bel. Itu berarti kamu mulai mencintainya. Duh… kamu kok polos banget sih, Bel? Masak perasaan gitui aja kamu tak tau.Tuh… benerkan kataku dulu. Suatu saat rasa itu pasti akan tumbuh juga. Dan sekaranglah waktunya”
“Benarkah itu perasaan cinta?”
“Benar dong, Bel. Masak kamu nggak percaya sama aku. Dulukan aku juga ngerasainkayak gitu pas jatuh cinta pertam kalinya. Itu tuh… yang sama Rahman Hakim. Kalau menurutku, kau tak perlu membuang rasa itu. lalu, bagaimana hubungan kamu sama dia sekarang?”
“Aku selalu berusaha menghindar dari dia. Ngomong hanya seperlunya. Ketika sarapan atau pun makan malam aku jarang yang mo ngomong. Tak ada ceritaku tentang sekolah atau ynag lainnya. Hanya dia yang masih cerita tentang segala sesuatu yang dia alami. Tentang pekerjaannya, masalah di kantornya, dan semuanya. Dan aku hanya akan jadi pendengar setia. Padahal hatiku sibuk mengendalikan rasa itu. Kadang saat dia bertanya pendapatku aku sering tak mendengarnya. Sehingga dia sering mengulang pertanyaannya padaku.”
“Apakah dia menyadari perubahan sikapmu itu?”
“Entahlah, Ran. Aku juga tak tau. Mungkin iya, mungkin juga tidak.”
“Apakah dia pernah bertanya tentang perubahan sikapmu?”
“Pernah. Saat aku bilang mau tidur di kamarku yang dulu. Dia bertanya alasannya padaku. Tapi aku bilang kalau aku pengen konsen dalam belajar untuk menghadapi UAN dan UAS. Dia hanya mengangguk dan menyetujui permintaanku itu.”
“Tapi, Ran. Kenapa kau harus berbuat seperti ut, dan mengapa kau ingin membuang rasa itu?”
“Ran. Dia itu sudah kuanggap sepeti kakak kandungku sendiri. Bahkan dialah yang menjadi ganti Bapakku selama ini. Dialah yang mengurusi semua keperluan dan kebutuhanku. Dia sudah menganggap aku sebagai adeknya sendiri. Jadi mana mungkin aku akan membiarkan diriku mencintainya lebih dari itu. cobalah kau mengerti posisiku.”
“Tapi, Bel. Kau tak bisa terus-terusan menghindar darinya. Karena kalian sudah hidup dalam satu rumah. Lagian bagaimana kalau dia ternyata menyadari perubahansikapmu, lalu berpiir yang macem-macem tentang hal itu/”
“Justru itu yang menjadi beban pikiranku, Ran. Aku ingin agar rasa ini cepat hilang dari dalam hatiku. supaya aku bisa bersikap seperti biasanya pada Kak Ryan. bantu aku untuk itu ya, Ran. Please… bantu aku untuk ngilangin rasa itu. aku takut, Ran. Aku takut rasa itu akan membuatku selalu bermaksiat pada Allah. Karena perasaanku sama kakak bukan lagi perasaan seorang adek pada kakaknya. Tapi perasan seseorang terhadap orang yang dicintanya.”
“Duh… gimana ya, Bel. Aku juga nggak punya solusi apa-apa buat kamu. Masalahnya kamu itu orang yang sulit jatuh cinta. Saat jatuh cinta kau malah inin membuang rasa itu. sangat sulit Bel membunuh rasa itu.”
“Tapi aku ingin membuang rasa itu jauh-jauh dari diriku,” kataku kalut. Air mata sudah mulai mentes di pipiku.
“Tenanglah. Aku hanya bisa berdoa semoga kau benar-benar bisa membuang rasa itu. walau dalam hatiku, aku tetap berharap Kak Ryan juga merasakan hal itu. agar kalianbisa menikah,” ucapnya sambil mengusap kepalku. Aku mengankat kepalaku dan meloto odanya.
“Ma’af, deh. Bercanda kok, tapi serius lho. He…” aku mencubitnya. Dia bangkit dan berlari ke dalam kelas. Aku mengejarnya. Ternyata bel tanda jam masuk sudah berdering. Kali ini Rany diselamatkan oleh waktu.
@@@
Ya, Allah. Kalau memang ini adalah perasaan cinta. Maka hilangkanlah perasaan itu dari hati hamba. Kalau memang rasa itu harus hadir dalam hati hamba. Maka buatlah supaya dia tak memilih Kak Ryan untuk dicintai. Karena kami sudah seperti saudara. Hindarkanlah kami dari godaan syetan dan cinta yang bukan karena-Mu. Agar apa yang kami lakukan murni karena mengharap ridah-Mu. Bukan karena diperbudak oleh nafsu.
Ya, Allah. Bantulah hamba untuk menghilangkan rasa itu. Karena hanya Kaulah yang mampu membolak-balikkan hati. Dan Engkaulah Yang Maha Tau apa yang terbaik bagi hamba.Ingatkanlah hamba. Bahwa akan ada sebuh akhir dalam hidup ini. Agar hamba tetap mencintai Yang Tak Pernah berakhir. Yaitu pada-Mu. Dan jika hamba memang tak bisa hilangkan rasa cinta itu. maka jagalah cinta hanma ya, Allah. Agar tak melebihi cintaku pada-Mu. Doaku dalam sujut malamku. Air mataku kembali mengalir. Aku meraih Al-Quran di dekatku. Tapi…entah kenapa hatiku berkata lain. Aku harus menengok Bapak. batinku. Wajah Bapak berkelebat di depan mataku. Kukembalikan Al-Quran di tanganku. Kubuka mukenaku, melipatnya, lalu melangkah keluar kamar.
Kini aku telah berdiri di samping tempat tidur Bapak. Dia tertidur pulas. Selimut lusuh tetap menutupi tubuhnya yang terbujur tak bergerak. Tiba-tiba angin bertiup dari arah jendela. Di luar hujan turun sangat lebat. Aku melangkah ke jendela untuk menutup horden yang terbuka oleh angin. Kaca jendelanya yang telah pecah tak lagi bisa menghalanginya dari terpaan angin. Aku menarik selimut itu. lalu melangkah untuk kembali ke samping Bapak. langkahku terhenti. Mataku lekat mengamati seseorang yang sedang tertidur dalam keadaan duduk. Wajahnya terkulai di samping tangan Bapak. tuduhnya bergerah sedikit. Tangannya mengusap punggungnya.
Dia pasti kedinginan. Pikirku. Sekali lagi Kak Ryan bergerak. Tangannya memeluk kedua lengannya. Aku meraih jaket Kak Ryan dari gantungan baju yang terpasang di tembok di dekatku. Lalu aku melangkah mendekati tubuh Kak Ryan. tanganku terulur hendak memasangkan jaket itu ke tubuh Kak Ryan. Tapi, belum sempat tanganku menjangkau tubuh Kaka Ryan. rasa sudah datang menyerangku. Jantungku kembali berdetak kencang. Tangan dan seluruh tubuhku bergetar hebat. Rasa mules seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutku kembali terasa. Aku benar-benar tak bisa menguasai rasa itu. kubuang jaket di tangabku dan berlari keluar kamar.
Aku terus berlari. Air mata sudah membanjiri pipku. Berbaur dengan air hujan yang kini telah telah mengguyur seluruh tubuhku. Aku terus berlari sambil mengutuki kelemahanku yang tak mampu untuk mengendalikan hati. Petir menyambar. Menggema diudara. Menampilkan garis seperti akar yang menyala. Seolah garis itu menjilat kepalaku lalu menghilang dalam sekejab. Sebelum bunyi keras seperti ledakan menggema di atas kepalaku. Tapi aku tak perduli itu semua. Aku terus berlari sekuat tenaga. Seolah ingin menghindar dari rasa yang sedang bergejolak di hatiku. seolah ada sesuatu yang sedang mengejar-mengejarku.
“Tuhan. Rasa apa ini sesungguhnya? Kenapa aku tetap tak bisa mengendalikannya? Kenapa rasa ini memilihnya? Kenapa tak yang lain saja? Ada apa edengan hatiku?
Allah. Dulu aku hanya mencintai-Mu. Dudlu hanya Kau yang ada dihatiku. Hatiku bergetar saat aku menghadap-Mu dalam shalatku. Jiwaku rindu pertemuan dengan-Mu. Kuresapi setiap gerakan shaltku untuk menemui-Mu. Tapi sekarang… Ada yang lain dalam hatiku. hatiku bergetar saat berada di sampingnya. Jiwaku rindu pertamuan dengannya. Ketak lagi resapi setiap gerakanku shalatku. Terusik wajahnya yang selalu terbayang di pelupuk mata tanpa kuduga.
Lalu… apakah aku bersalah dama hal ini? Bukankah aku tak pernah mengingkan rasa itu? kuingin hanya Kau yang bertahta di hatiku. hanya Kau, tak ingin yanglain. Walau sekarang dia telah mengisi satu celah kecil di hatiku. ya, satu celah kecil. Takkan pernah kubiarkan lebih dari itu. karena ruang hatiku hanyalah untuk-Mu.
Allah. Hanya satu celah kecil yang telah terisi olehnya. Tapi kenapa seolah hatiku telah terisi sepenuhnya oleh dia? Kenapa seolah-olah rasa cintaku padanya melebihi cintaku pada-Mu. Ya, Allah. Jangan biarkan itu terjadi padaku.
Ya, Allah. Adanya sudah tak baru. Hadirnya bukan hal yang tabu dalam kehidupanku. Tapi kenapa baru sekarang rasa ini menyerangku? Oh Tuhan… bantu aku untuk menghilangkan rasa itu dari hatiku.”
Aku menjerit sejadi-jadinya. Hujan terus mengguyur tubuhku. Ombak semakin besar. Berdeburan, bergulung-gulung di depanku. Menerjang keras kakiku. Memebuat berdiriku sedikit goyah. Aku tetap berteriak, mempertanyakan semuanya pada Tuhan. Menghadap laut yang gelap pekat. Namun suaraku tak terdengar jelas. Seolah tertelan bunyi ombak yang sedang mengamuk. Petir tetap mengelegar.Seolah ingin mememcah langit, bumi dan seisinya. Keadaan benar-benar tak bersahabat. Badai semakin menggila air, angin, gemuruh, dan petir mengamuk sepuasnya. Alam seolah ingin kiyamat. Seperti suasana hatiku yang sedang sembraut.
“Blar.” Petir menyambar tepat ke tangah alut di hadapanku. Kurasakan sakit di daa kiriku. Kepalku terasa pecah. Tubuhku mengejang hebat. Lalu… gelap menyelimuti alamku.
@@@

Sayup-sayup kudengar suara seseorang sedang melantunkan ayat suci Al-Quran. Ingin rasanya kumembuka mata, agar aku dapat melihat siapa yang sedang melantunkan kalam suci itu. Tapi mmataku sulit untuk terbuka. Seolah ada lem yang menjelitnya. Tubuhku terasa nyeri seperti orang yang yang sedang kesemutan. Aku seperti pernah mengalami ini semua. Tapi kapan dan di mana? Kucoba sekuat tenaga untuk membuka mataku. Dan ahirnya…
“Adek sudah sadar,” kembali kata itu terlontar dari Kak Ryan. sam seperti dulu. Saat aku baru sampai di rumah ini dan mendapati keadaan Bapak yang sudah tak berday dengan penyakit strokenya. Kakak kembali meminumkan segelas air setelah meletakkan Al-Qurannya di meja. Semuanya sama. Seolah hal yang dulu terjadi kini terulang kembali. Hanya satu yang beda, hatiku. Tapi kutetap berharap. Semoga hatiku kembali seperti dulu.
“Kakak menemukan Adek di pantai setelah kakak mencari-cari Adek kemana-mana. Kenapa Adek pergi ke sana? Padahal badai sedang mengamuk. Apakah Adek tak takut mati? Apa Adek sudah tak sayang lagi sama Bapak dan kakak? bagaimana kalau ombak menarik adek ke tengah laut? Kakak mencari Adek seperti orang gila. Berlari di bawah hujan. Kakak hampir putus asa. Karena Adek tak juga kakak temukan. Kakak duduk sambil menangis di bawah hujan. Hingga akhirnya kakak teringat, kalau Adek sedang ada masalah Adek akan selalu pergi ke pantai. Dan ternyata benar. Tubuh adek sudah terbawa ombak ke laut. Kakak segar berenang untuk meraih tubuh Adek. Kakak sangat takut, Dek. Kakak takut Adek akan meninggalkan kakak untuk selamanya. Kenapa, Dek. Kenapa Adek lakuin itu? Ada apa?” kata kakak panjang lebar. Air matanya mengalir deras di pipinya. Aku hanya terdiam tak menjawab.
Seandainya Kakak tau apa yang sedang Adek alami? Seandainya Kakak tau kalau adek menderita karena keberadaan Kakak. Seandainya Kakak tau kalau perhatian dan kasih sayang yang Kakak berikan, telah menumbuhkan rasa yang tak wajar di hati Adek? Seandainya Kakak tau, betapa menderitanya Adek karena rasa itu? Seandainya Kakak tau semua itu? Apakah Kakak masih akan mempertanyakan dan menyalahkan tindakanku? Jerit hatiku. Air mataku kembali mengalir.
“Dek. Berjanjilah pada Kakak. jangan pernah lakukan hal itu lagi. Jangan pernah keluar rumah dalam keadaan badai yang mengamuk. Berjanjilah Dek. Jangan pernah membuat Kakak menangis lagi. Jangan pernahn tinggalkan kaka dan bapak lagi. Adek maukan berjanji itu pada kakak?” kata Kakak sambil berurai air mata. Tanpa sadar akupun mengangguk. Kakak meraih tubuhku dalam pelukannya. Dan rasa itu kembali menyerangku.
Allah. Ampunilah dosa ini. Kau mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam hatiku. Ampunilah kelemahan hamba yang tak mampu menjaga hati. Ampunilah hati hamba ya, Allah. Rintih hatiku. Dan ampunilah segala dosaku. Kalau memang semua itu Kau nilai zinah. Maka berikanlah kesempatan padaku untuk menebusnya. Jangan catat nama Kakak dalam daftar dosa itu. karena kuyakin. Dia melakukan semua itu tanpa rasa dan niat apa-apa. Selain ikhlas karena-Mu. Biarlah namaku saja yang tercatat dalam dosa besar itu. Karena hanya aku yang tak bisa menguasai hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar