Oleh: UY, X IPS 5
Sudah tiga tahun aku mengenalnya, tepatnya waktu aku baru masuk ke SLTP. Hari-hari yang indah kami lalui bersama meski waktu itu aku dan dia hanyalah teman biasa. Namun menjelang kelulusan siswa kelas IX, sikapnya mulai berubah. Dia tidak lagi mencandai aku dan menjemputku pulang bahkan untuk mengantarku. Sekarang dia sibuk dengan Sisi, murid pindahan baru. Dia telah menarik perhatian Arif dariku. Dan parahnya lagi, aku tidak suka melihat keakraban mereka, entah mengapa aku berpikir kalau Sisi telah merebut Arif dariku, padahal…
Apakah ini yang namanya cinta?
Kenapa cinta itu hadir sekarang?
Kenapa tidak dulu sebelum Sisi hadir dalam kehidupan Arif?
Ah… ataukah itu hanya perasaanku saja?
Kini tinggal dua hari menjelang pelulusan, siang itu aku berjalan sendiri menyusuri lorong panas yang sunyi. Aku tak melihat Arif, tapi aku mendengar dia memanggilku. Aku menoleh, dia menatapku dan tersenyum. Senyumnya membuatku luluh tak bisa berkata apa pu. Aku hanya menunduk, aku pun tak mampu melihat senyuman mautnya. Saat itu ada debaran aneh dalam diriku, aku ingin berbalik dan hendak berjalan. Tapi…
“Ais… kamu kenapa?”, tangannya sambil mencegah langkahku. Aku menundukkan kepalaku dan menggeleng lemah, lalu aku beranjak pergi menjauhi dirinya.
“Ais… aku tau kamu…”, Arif tak meneruskan kata-katanya. Aku menghentikan langkahku, jangan-jangan Arif tau tentang perasaanku. Aku segera menoleh.
“Tau apa?”, tanyaku sambil tersenyum dan pura-pura tidak tau.
“Kamu marah sama Alin, kan? Gara-gara dia menumpahkan air ke makalah kamu, kan?”, jelasnya membuatku bernapas lega.
“Sok tau kamu, Rif”, timpalku dan melanjutkan langkah kakiku yang tadi terhenti. Ah… Arif menyangka aku masih marah sama Alin, padahal ada masalah lain yang terkunci dalam hatiku.
“Ais… benar, kan?”, buru Arif penasaran.
“Salah!”.
Arif menatapku tak mengerti. Aku tau kalau dia sudah menangkap keanehanku beberapa hari ini.
“Ais, kamu kenapa?”, tanyanya lagi sambil menarik tanganku. Aku terkejut seketika karena baru kali ini dia memegang tanganku. Ketika itu, dia perlahan melepas tanganku.
“Ais, dua hari lagi pengumuman pelulusan, aku ingin tau bagaimana perasaanmu.”
“Apa? Perasaanku? Biasa ajalah, Rif.”
“jujur.” Arif terdiam.”Aku tidak ingin pisah dari kamu, sudah aku coba menjauh darimu, tapi tidak bisa. Malah menyiksa batinku.”
“Maksud kamu?”, tiba-tiba jantungku berdebar hebat.
“Kamu mau mondok, kan? Aku mendengar percakapanmu dengan Alin.”
“Iya. Aku akan mondok. Abahku akan memondokkan aku. Kenapa? Kamu keberatan?.”
“Karena aku sadar, kalau aku mencintaimu. Aku tidak bisa menahan perasaan ini, karena aku tidak mau kehilanganmu dan berpisah denganmu.”
“Tidak. Cinta akan tetap di hatimu kalau kau benar cinta dan ingin selalu bersamaku. Relakan aku mondok karena ini demi kebaikan kita.”
“Seandainya aku bisa memelukmu dan merangkul tubuhmu, aku tidak akan melepaskanmu dan aku akan rangkul tubuhmu erat-erat.”
“Ingat dosa! Kita bukan muhrim. Dan kalau kau bisa, meletakkan kedudukanku di hatimu dan kau menjaganya, aku yakin kita akan bersama. Dan lagi pula, hanya tiga tahun. Dan aku juga mencintaimu.”
Senyum maut pun terlihat di bibirnya, kegembiraannya mulai terlintas. Dan aku yakin perasaan kita berdua akan menyatu walaupun akan jauh terhalang oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar