Kamis, 17 Desember 2009

Ibu, Akulah Pemenang!

OLeh: Rara Zarary,XI IPS 4


Aku tak pernah tahu tentang keinginan Ibu-Bapakku. Seringkali mereka menyuruhku belajar lalu tidur sebagai waktu istirahat otak. Aku pun tak mengerti maksud hal itu. Atau mungkin mereka anggap aku masih terlalu dini untuk tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku.
Setiap hari, aku ruitn disediakan baju warna merah putih serta perlengkapan sekolah, sebagai tanda bahwa hari ini aku harus bersekolah. Ibulah yang memperhatikanku, sedangkan ayah, beliau pergi mencari nafkah, berangkat pagi pulang menjelang malam. Aku tak pernah sempat mencium takdzim tangannya sebagai ucap pamit dari buah hatinya, yang akan belayar di lautan ilmu, karena saat aku terbangun dari tidurku beliau sudah tak ada. Pernah aku mengutarakan pada ibu tentang keinginanku untuk sekedar bisa menyentuh tangan beliau, tapi ibu berkata, “Sudahlah, yang penting belajarlah dengan rajin!. Ayahmu akan sangat bahagia jika kau dapat menjadi pemenang”.
Akhirnya, aku mulai mengerti dengan keinginan orang tuaku. Dan malam itu, saat namaku dipanggil sebagai siswa teladan, pelukan hangat mereka mendekapku. Baru kali ini, erat tangan Bapak merengkuh tubuh kecilku. Mereka bahagia! Aku tahu itu dan aku mulai mengerti betapa bangganya mereka pada dunia.
****
Bayangan masa lalu itu selalu hadir
Bahkan angin pun menerpa, roboh pun mungkin
Karena ia adalah kemenangan bagi seorang gadis kecil
yang dulu hanya bisa merengek manja


Nyatanya waktu terlalu cepat berlalu, aku kini sudah dewasa. Masa SMP-ku sudah terlewatkan, dan lagi-lagi aku berhasil menjadi pemenang. Orang tuaku kembali menebar senyum bahagia.
SMAN 1 Bojonegoro, aku kalah pada nafsuku. Aku merasa gundah hingga membuatku tak betah di sekolah itu dan akhirnya aku meminta kepada Bapak untuk memindahkanku ke sebuah SMA di Madura.
Di sana, kurasakan ada sesuatu yang beda: Aku mudah dikenal, dipercaya sebagai pengrurus OSIS bahkan banyak teman-teman kelas yang sering menggodaku sebagai calon bintang kelas. Tapi entahlah, kenapa rasa gundah itu kembali hadir dalam sepi tanpa dzikir. Aku benci dengan rasa itu dan aku mencoba menahannya.Tapi tak bisa! Aku memutuskan untuk pindah sekolah. Aku ingin pergi ke tempat yang menjauhkanku dari para penjahat dunia, lelaki.
Saat itulah aku menjadi cacian ibu, tentang uang yang telah ku hamburkan dengan percuma. Masa depanku tak jelas, begitu kata ibu. Aku merasa tak dipahami. Dan vonis bahwa aku mengidap penyakit kanker, membuat ibu semakin memojokkanku. Ibu kian tak peduli dengan cita-cita besarku, menjadi seorang penulis handal.

Aku menangis, lukaku begitu perih
Ibuku yang telah mematikan hatiku
Adalah dia yang tak memahami bahasa hatiku


Semuanya seakan sia-sia, ibu kandungku saja tak peduli dengan cita-citaku, apalagi orang lain. Tapi menyerah begitu saja bukan karakterku. Demi pengorbanan Bapak aku akan tetap bertahan atas harapnya, agar aku kembali menjadi pemenang seperti di masa lalu.
***
Dengan menahan segala rasa penat, aku mengikuti segala macam kegiatan yang ada di sekolah baruku, sebuah sekolah swasta dengan fasilitas pas-pasan. Bahkan aku memaksakan diri untuk mengikuti salah satu kegiatan yang pasti akan sangat menguras tenaga dan fikiranku, tentu saja ini tak menutup kemungkinan akan memperah penyakitku. Tapi aku tak peduli, akan ku buktikan bahwa aku bisa kembali menjadi pemenang!.
Akhirnya, aku berhasil! Aku menjadi the best peserta dalam kegiatan itu. Tak sabar aku berlari pulang ke rumah, akan ku kabarkan berita bahagia ini. Senyum ibu pasti akan merekah kembali dan ayah pasti akan merengkuhku…….. Tapi…brakkk!!!
Sebuah benda keras menghantam tubuhku, lalu semuanya gelap……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar