Oleh: Ulfatun Hasanah
Pagi tak lagi terang seperti biasanya, matahari enggan menampakkan wajah sangarnya pada dunia yang nelangsa. Seakan masih tidur dan bermimpi dengan indahnya purnama. itulah perasaan yang menghampiri gadis cantik berumur 17 tahun. Wajah riangnya tak lagi tampak di sela-sela senyumnya yang manis. Semangatnya luntur bersama malam yang membuat hatinya miris dan histeris. Kejadian itu bermula sejak sandaran jiwanya telah direnggut olehNya lewat nyanyian bising yang menakutkan, KEMATIAN. Ibu yang sangat dibanggakannya meninggalkan Fenzia untuk selamanya.
Tak banyak yang ibu harapkan dari dirimu, anakku. Ibu hanya ingin kamu menegakkan kebenaran dan selalu membanggakan ibu dimanapun dan kapanpun saja. Kamu mengerti maksud ibu, kan?
Fenzia kembali teringat memori yang menyakitkan hidupnya. Bukan karena pesan ibunya yang membuatnya tak bisa bangun dari kesedihan, tapi karena penyakit yang menderita ibunya. Penyakit yang tak kunjung sembuh walau sudah sekian dokter mengobatinya. Bermacam obat telah memasuki tubuhnya yang lemah. Namun tak ada tanda-tanda yang menandakan ibunya akan sembuh. Sebenarnya apa penyakit yang mendera ibuku?aku tak percaya kalau ibu sakit kepala sebab migren, tidak mungkin migren mengakar pada seseorang hingga bertahun-tahun. aku tak percaya...
”Aaaaaaa...”
”Zi, tenang, tenang ya...!!! ada aku disini”
“Pergi!!! Aku benci pada semunya, aku benci.”
”Aku mengerti keadanmu, tapi jangan terlalu larut dengan kesedihan. Tak ada gunanya kamu menangis, lebih baik doakan saja ibumu”
”Apa kamu bilang? Doa katamu? tahu apa kamu tentang aku?! Apa kamu kira aku tak mendoakan ibuku dengan keberadaanku yang seperti ini? Dasar cowok tak tahu malu! Pergi kamu dari sini!!! Pergi... ” Fenzia ngamuk, barang-barang yang berada di sekitarnya dilemparkan pada cowok di hadapannya. Hingga menimbulkan bunyi yang membuat seisi rumah yang hanya di huni oleh paman seayah dan bibinya panik, hingga mereka menuju asal suara itu.
”Apa yang terjadi Han?” tanya seorang laki-laki dengan nada panik dan sedikit kesal melihat keadaan kamar yang berantakan. Sedang yang ditanya hanya diam tak menjawab.
”Pasti dia marah-marah ke kamu, ya sudah memang begitulah dia. Kamu harus sabar menghadapinya”
”Tak masalah om, saya mengerti keadaannya. Seandainya saya yang ditinggal seorang ibu, apalagi sangat baik seperti ibu Aminah, mungkin perasaanku akan sama seperti Fenzia” ucap Farhan, cowok kaya, tampan sekaligus pintar yang naksir dan bersikeras melamar Fenzia, namun ibu Fenzia tak merestuinya. Hingga membuat Farhan kesal. Begitupula dengan Fenzia, dia tidak tertarik sama sekali dengan ketampanan, kepintaran yang dibuat-buat, apalagi kekayaanya yang hanya nnumpang pada ayahnya. Beda dengan omnya.
”Banyak bicara. Pergi semua dari sini!!! Pergi...”
”Fenzia tenang, nak! bibi di sini.” ucap Nadia, bibinya.
”Ya, sudah nak Farhan. Lebih baik nak Farhan pulang saja. Mungkin sekarang Fenzia menolak kehadiranmu dengan keadaannya yang seperti itu. siapa tahu dia akan menerimamu setelah keadaannya pulih seperti dulu” ucap Parman seraya berbisik pada calon menantunya. Begitu Parman mengatakan. Sedangakan yang disebelahnya hanya tersenyum penuh kemenangan.
Keadaan kembali sepi seperti semula setelah bibinya berhasil menenangkan dalam dekapannya, hingga akhirnya tertidur. Namun di sela-sela wajah gadis itu masih ada bercak-bercak kesedihan yang dilalui oleh airmatanya. Semua meninggalkan kamar mungil yang tak lagi berantakan itu. Kembali beraktivitas dengan pekerjaannya sendiri. Di ruang tamu terjadi perkatan singkat diantara Parman dan Farhan, namun tak terdengar oleh telinga manapun.
***
Fenzia terbangun dari tidurnya setelah bunyi pintu yang diketuk berganti dengan suara rengekan pintu dibuka. Fenzia tak percaya dengan senyum yang terpancar indah di depannya, senyum yang selalu dirindukannya. Sudah lama dia tak melihatnya.
”Fatih...” desisnya tak percaya.
”Fenzia, aku hanya ingin melihat senyummu untuk Tuhan kita, dan.. Aku” ucapnya lembut.
”Fatih, ibu...” Fenzia tak melanjutkan, dia kembali terisak.
”Aku tahu, aku paham akan keadaanmu. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan, kau terlalu sulit untuk aku lupakan. Hingga aku harus pulang dari Jakarta hanya untuk menemuimu dalam keadaan yang seperti ini. Maaf dipemakaman ibu aku tak datang karena aku masih harus menyelesaikan skripsiku. Aku juga terpukul mendengar kabar itu dari Ummi.”
”Aku kehilangan semuanya, Fatih. Sejak kecil aku tak tahu ayahku, yang kutahu bahwa ayahku telah lama meninggalkan dunia ini ketika aku masih ada dalam kandungan. Sekarang setelah aku hampir tahu apa itu hidup, yang telah ibu ajarkan padaku. Aku harus kehilangan penopang jiwaku”. Fenzia menceritakan semuanya pada laki-laki di depannya. Laki-laki yang tak pernah menyentuhnya walau hanya kukunya sekalipun. Karena menurutnya, mencintai tak harus ditunjukkan dengan keromantisan-keromantisan murahan. Dia malah lebih memilih arti cinta sebagai jalan menuju Tuhannya semata. Jalan inilah yang ditempuhnya untuk mendapatkan hati seorang gadis yang lembut namun sedikit keras. Sehingga keluarga Fenzia menerima lamaran pertunangan dari kelurga Kyai Mahmud satu tahun yang lalu. Namun setelah kematian ibunya, anggapan itu tak pernah dihiraukan oleh pamannya bahkan dianggap tak pernah ada kata pertunangan diantara Fenzia dan Ra Fatih.
Fenzia juga menceritakan tentang keraguannya akan penyakit yang menimpa ibunya. Tentang kematian yang seakan-akan direkayasa oleh tangan manusia.
”Jangan berkata seperti itu, kita semua milik Allah dan akan kembali pada Allah. Begitupula dengan kematian ibu. Allah lah yang telah menentukan”. Papar Fatih pada Fenzia lembut.
”Aku pernah mendengar dari abamu waktu pengajian, bahwa setan itu ada. Bahkan ada yang menyekutukan Allah dengan setan itu dan meminta pertolongan setan untuk membuat orang yang dibencinya menderita, sakit bahkan meninggal. Nah itu yang disebut dengan sihir. Bukan begitu Fatih?”
”Tapi siapa yang membenci ibu Aminah, wanita sebaik ibu Aminah tidak mungkin ada yang membencinya. Sudahlah, lebih baik kamu shalat dhuhur sekarang! Adukan semuanya pada yang lebih tahu”. Ucap Fatih dengan senyum khasnya.
“Tapi…”
“Sudahlah, please…! O ya, kapan mau kembali ke pondok?”.
“Aku tak tahu, aku masih butuh istrahat yang cukup untuk menerima semuanya.”
“Baik. Aba juga mengerti akan keberadaanmu. Akan aku katakan pada aba kalau kamu masih seperti ini. Aba pasti mengerti kok. Aku pulang dulu, jangan lupa shalatnya. Assalamualaikum”. Fatih pergi meninggalkan kamar itu dengan perasaan tak karuan. Senang karena bertemu dengan calon pendampingnya yang Tuhan kirimkan lewat tingkah lakunya yang sopan dan berakhlak mulia, namun juga sedih melihat keadaan Fenzia yang selalu murung hingga membuat wajahnya kusut tanpa cahaya yang selalu dibanggakannya, bahkan tubuhnya yang dulunya segar, kini tak lagi memancarkan semangat hidupnya. Namun di sisi lain Fatih banggga karena telah bisa membuat Fenzia tersenyum walau tak semanis dan setulus dulu. Tanpa sepengetahuan Fenzia dan Fatih ada mata yang penuh amarah mengawasi pembicaraan dan gerak-gerik mereka berdua dari balik jendela Fenzia. Ada kecemburuan di mata elang itu. ada kobaran api yang semakin menyala di hatinya yang sebenarnya busuk, hanya saja tak ada yang dapat mencium baunya dengan jelas. Laki-laki yang dibutakan oleh cinta.
***
Siang dan malam Fenzia lalui dengan sendiri. Dengan kenangan bersama ibunya. Walau keadaannya tidak separah hari-hari sebelumnya, namun masih ada tangis di hatinya yang terdalam. Fenzia menuruti saran Fatih untuk tidak larut dalam sedih yang berkepanjangan, Untuk mengadukan kekacauan hatinya hanya pada Allah SWT. kadang Fenzia menyempatkan dirinya untuk sekedar menghirup udara segar di sekitar rumahnya. Setelah sekian orang yang berlalu lalang mendatangi rumahnya sejak kematian ibunya seakan membuatnya sesak. Kini kematian ibunya sudah memasuki hari ke-40, tak ada lagi orang yang melawat seperti dulu . Sampai suatu hari pamannya datang menemuinya di taman belakang.
”Zi, boleh om bicara?” tanya om parman membangunkan lamunan Fenzia.
”E...m apa om?! Ada perlu apa? Bicaralah!” jawab Fenzia gugup.
”Begini nak, sejak kematian ayahmu, kamu menjadi tanggung jawab om. Sehingga kamu dan ibumu kami ajak menempati tempat ayahmu ini. Lagi pula sampai sekarang om masih tidak punya seorang anak untuk om sayangi. Om tak seberuntung ayahmu yang bisa mencicipi senangya hidup bersama seorang anak dan istri yang shalehah seperti ibumu. Termasuk masa depanmu juga menjadi tanggung jawab om sepenuhnya Jadi...” om parman masih menghela nafas dalam-dalam tak berani melanjutkan perkataannya.
”lanjutkan om!”. pinta Fenzia pada omnya. Gadis ini memang sudah tahu karekter omnya dari dulu. Ibunya pernah bercerita bahwa om parman sempat bertengkar dengan ayahnya gara-gara neneknya mewariskan kekayaannya pada pak sulaiman, ayah Fenzia.
”Jadi, bagaimana dengan tindak lanjut lamaran keluarga Farhan satu tahun yang lalu? Karena Farhan memaksa om untuk menerimanya. bagaimana kalau om terima saja lamaran Farhan? Om yakin kamu akan bahagia hidup dengannya. Dia anak yang pintar, baik, tampan dan juga kaya”. Ucap om parman penuh harap.
”kenapa kalau om sendiri yang jadi tunangannya? Om ga’ nyadar apa kalau keluarga Kyai Mahmud telah meminta Fenzia lebih dulu untuk putranya? Itupun sudah dapat persetujuan dari almarhum ibu. Iyakan om?”. ucap Fenzia sinis dan agak kesal.
”Tapi Zi, itu kan dulu, Sekarang tidak lagi. Lagian Farhan lebih baik dari pada anak kolot itu”. bentak om Parman.
”Bukannya om yang kolot?! Hanya harta dan harta terus yang om pikirkan. Fenzia ngerti kok apa yang menjadi tujuan om. Om membutuhkan hartanya kan??!” ucap Fenzia tak kalah emosinya.
”Apa kamu bilang? Kurang ajar...” om parman hendak menamparnya namun niat itu diurungkan.
”Terus tampar om!!! Ga’ apa-apa kok. Tapi ingat, sampai kapanpun Fenzia tidak akan pernah menerimanya. Fenzia masih menghargai keputusan ibu sampai kapanpun”. Fenzia pergi dengan perasaan marah dan sedih. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang tak beraura. Dia meninggalkan omnya yang sama marahnya.
Fenzia lari ingin mengadukan semuanya pada ibunya, tapi tidak mungkin. Dia hanya bisa menangis melewati jalan setapak disekitar rumahnya bermaksud pergi ke pemakaman ibunya. Namun tepat di depan pintu gerbang Fenzia dikagetkan dengan benda aneh yang menurutnya tak pantas di tempat itu.ada gulungan rambut yang tertancap paku dan jarum serta sebuah kalung di dekat benda itu. Melihat kalungnya saja enggan, apalagi melihat orangnya. Memori itu kembalai berputar. Namun dia kembali dikagetkan dengan tanda panah yang tepat mengarah pada sebuah kamar yang biasa ditempati ibunya. Dia urungkan niatnya untuk pergi ke pemakaman ibunya. Dia malah berbelok kearah kanan setelah mengambil benda itu dan meletakkan dalam sakunya. Kini dia seakan menemukan sesuatu yang membuatnya penasaran.
***
Rumah yang sangat sederhana yang sempat memberi ketenangan dengan keluarganya di masa kecilnya. Rumah ayah dari ibunya, yaitu kakeknya sendiri. Kakek yang sangat disayanginya, yang selalu memberikan pendidikan di sela-sela mainnya. Kakek yang hanya berdua dengan neneknya sempat menyuruhnya untuk tinggal dengannya setelah kematian ibunya. Namun Om parman tak mengidzinkannya dengan alasan sangat berhutang budi pada kakaknya. Sebenarnya Fenzia lebih senang tinggal dengan kakek neneknya jika tak mengingat pesan ibunya.
Seperti biasa Fenzia mengucapkan salam dan langsung nyelonong setelah salamnya ada yang menjawab dari dalam rumah itu. betapa terkejutnya kakek paruh baya itu melihat cucunya datang dalam deraian airmata.
”Kenapa cucuku? apa yang terjadi?” tanya kakeknya setelah cucu semata wayangnya duduk di depannya.
”Kek, Zi menemukan ini”. Dengan suara tercekat Fenzia memberikan benda itu pada kakeknya. Ada harap yang begitu dalam dari sinar matanya yang menyimpan seribu pertanyaan. Sedangkan kakeknya hanya diam memandangi cucu yang sangat disayanginya itu. Ada kekhawatiran di wajah keriput itu, saat merasakan ada getaran aneh dari benda yang di pegangnya.
”Kek, kenapa?! Apa itu kek? Jawab pertanyaan Fenzia kek?!. Nafasnya mulai turun naik menahan emosi dan penjelasan dari kakeknya. Neneknya mulai terisak menyaksikan pemandangan itu. Beliau tahu betul siapa cucunya sebenarnya. Seorang gadis yang sangat membenci dunia mistik yang dianggapnya sesat setelah kakeknya bercerita padanya ketika masih anak-anak. Cucunya punya keinginan untuk memberantasnya. Karena menurut pikirannya hal yang seperti itu telah melanggar syariat islam, telah menyekutukan Allah dengan makhlukNya, telah menyiksa orang-orang yang tak berdosa, telah membuat orang sebagai boneka mainannya dalam penyakit yang dibuat-buat termasuk ibunya telah dijadikan boneka itu. perlahan beliau beringsut dari balik tirai yang membatasinya, menghampiri dan memeluknya. Sedangkan yang dipeluk ingin meminta penjelasan yang dapat membongkar rahasia di balik benda itu.
Kakeknya menarik nafas dalam-dalam seakan-akan mengumpulkan tenaga untuk menguatkan dirinya agar mampu menghapus duka di hati cucunya. Dengan sangat hati-hati kakek tua itu menjelaskannya agar tak ada dendam yang menggebu di hatinya yang lembut. Kini Fenzia paham apa makna yang terkandung dari benda aneh itu. rambut itu adalah rambut ibunya yang dicuri entah dari mana. Sedangkan paku dan jarum itu adalah kiasan si penyihir untuk menyakiti sesuatu yang ditancapkan pada yang diinginkan. Berarti benar ibunya sakit bukan karena migren biasa, tapi gara-gara benda jahannam itu. Matanya tersulut api kemarahan yang tiada tara, tangisnya semaki pecah, suaranya tercekat tak dapat berkata apa-apa. Ingatannya kembali menerawang jauh dimana ibunya mengeluh sakit kepala dan menjambak rambutnya hingga terlepas dari kulit kepalanya. Ibunya mengerang kesakitan saat sisa-sisa nyawanya tinggal hitungan detik. Hingga akhirnya nyawanya benar-benar hilang dalam tubuhnya disertai darah yang mengalir dari telinga dan hidungnya. Namun masih sempat menyebut asmaNya.. Airmata itu tampak jelas di mata Fenzia, yang akhirnya tersenyum dengan begitu tulus menuju syurga.
Fenzia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang membuat kakek dan neneknya terkejut tak percaya melihatnya.
”Berarti yang melakukan ini semua adalah Fa...Farhan? sebab aku menemukan kalung ini di dekat benda itu kek. Apa maksud dia melakukan ini padaku?!! Apa maksudnya...???. Fenzia benar-benar marah mengetahui kenyataan itu. dia berteriak sekeras-kerasnya. Ingin rasanya tangan yang tak pernah menyentuh barang kotor itu merobek-robek dan mencabik-cabik laki-laki jahannam, laki-laki buaya itu.
”Istighfar, Fenzia... istihgfar... Allah bersama kita” ucap kakeknya tak percaya mengetahui kenyataan ini. ”belum tentu yang melakukan ini adalah Farhan, belum tentu. Jangan suudzan dulu!”. Kakeknya memperingati dengan suara yang ditahan.
”Apakah itu yang disebut cinta, kek?! Dia bilang dia mencintaiku dan akan melamarku untuk menjadi pendampingnya. Om pun sangat antusias sekali untuk menerima lamaran itu. Tapi apa kenyataannya??! Dia telah mengambil paksa ibu dari hidupku. Apakah begini caranya jika cinta ditolak. Cinta telah membutakan hatinya dan kemanusiaanya”. Fenzia tak mampu menahan perasaannya yang campur aduk, rasa marah, benci, kesal, kecewa dan dendam menjadi satu pada laki-laki perfect menurut omnya, karena kenyatannya omnyalah yang membutuhkan bukan dirinya. Sungguh gila pekiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar