Selasa, 10 November 2009

Menelusuri Jejak Sang Ulama’ Pejuang

Oleh: Musyarrofah, XII IPS 1


Sosoknya menyiratkan ketegasan dengan mata menyorot tajam dan alis hitam tebalnya. Sorban yang menutupi kepalanya seakan menambah kesan kewibaan. Beliaulah K.H. Moh. Hasyim Asy’ari, salah satu diantara pahlawan–pahlawan kemerdekaan nasional.
Beliau terlahir pada tanggal 14 Pebruari 1871 di desa Gedang, Jombang dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, yang masih keturunan ningrat dan ulama’.
Sejak kecil kegigihan beliau dalam mencari ilmu terpancar dari sikap dan prilakunya. Beliau belajar langsung kepada ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Pada usia 13 tahun, beliau sudah mengajar di pesantren kakeknya.
Belum puas dengan ilmu yang diperoleh, beliau berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lain; dari Pesantren Wonorogo Probolinggo, Pesantren Trenggilis Semarang, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura hingga pesantren Siwalan Sidoarjo. Dan di pesantren yang terakhir inilah beliau diminta untuk menikahi Khadijah, putri pangasuh pesantren tersebut, K.H. Ya’qub.
Setelah menikah, beliau bersama sang istri berangkat ke tanah suci, Mekkah. Tujuh bulan dari keberangkatan itu, putera pertama mereka lahir dengan nama Abdullah. Namun duka tak bisa diduga, belum genap 40 hari usia sang putera, istri beliau wafat dan disusul oleh puter semata wayangnya.
K.H. Moh. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk kembali ke Indonesia, kemudian pada pada tahun 1893 M. beliau kembali ke Mekkah dan berguru kepada dua ulama’ besar, Syaikh Ahmad Khotib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi.
Tahun 1899, beliau kembali lagi ke tanah air, Indonesia dan mengajar di pesantren kakeknya. Pada tahun itu pula, beliau mendirikan pesantren Tebu Ireng, di Jombang. Ribuan santri dari berbagai daerah Indonesia datang untuk belajar di pesantren beliau.
Menjadi oarang yang mahir dalam pengetahuan agama tidak membuat Kyai Hasyim mengabaikan pengetahuan umum. Di pesantren beliau, para santri tidak hanya diajarkan pegetahuan agama tapi juga pengetahuan umum dan berorganisasi. Maka tak heran, tak sedikit para alumni pesantren tersebut yang menjadi tokoh dan ulama’ bahkan Kyai Hasyim sendiri adalah petani dan pedagang sukses.
Dua puluh tujuh tahun setelah mendirikan Pesantren Tebu Ireng, beliau mendirikan NU (Nahdlatul Ulama’) yang berperan aktif dalam proses kemerdekaan. Dan kini organisasi tersebut menjadi penyalur pengembangan Islam ke desa-desa dan kota di Jawa.
Sikap toleran terhadap perbedaan atau aliran lain adalah salah satu sikap yang terus menghiasi masa hidup beliau. Semangat mempertahankan kemerdekan tercermin dalam pidato-pidatonya. Hingga pada tanggal 25, Juli 1947, setelah mendengar cerita mengenai banyaknya rakyat yang menjadi korban kekejaman Belanda, secara mendadak beliau terserang peradangan otak dan wafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar